Friday, December 3, 2010

Buku Selimut Debu

 Janji adalah janji yg harus dibayar

Saya diminta oleh seorang sahabat saya untuk menulis resensi buku Selimut Debu. Selimut Debu ini adalah buku perdana yg ditulis oleh Agustinus Wibowo, Sang Petualang yg catatan perjalanannya menyusuri negeri-negeri yg berakhiran “stan” pernah membuat heboh kalangan pembaca Kompas Online dengan judul Titik Nol.

Bayangkan sepanjang hidup saya, saya belum pernah menulis resensi buku. Arti resensi saja, saya kurang tahu. Sekarang  malah diminta menulis resensi buku. Ini yang salah siapa ya? Saya sampai tak habis pikir. Tapi mau bagaimana lagi, saya sudah terlanjur sesumbar bilang  “setuju”, saya bersedia menulisnya dengan imbalan, dia bersedia memberikan selembar photo si Agustinus Wibowo ini. Alamak! Ini photo imbalannya hahaha



Bodohnya saya mau menuruti permintaannya. Sekarang saya malah pusing 7 keliling mencari tahu arti “resensi” dan mencari-cari contoh resensi buku yg kira-kira menarik di beberapa website. Pening rasanya kepala saya membaca banyaknya informasi yang harus saya baca. Semakin banyak saya membaca resensi, semakin mumet kepala saya, karena tak ada satu pun yang menarik di hati saya. Bener-bener pusing. Betapa sulitnya memenuhi janji ini. Janji adalah janji yang harus saya bayar. Suka atau tidak suka, saya tetap harus berjibaku mencari tahu cara membuat resensi buku yg baik dan bener. Alamak! Andai Tuhan saat ini sedang membaca pikiranku, sudikah kiranya Dia menolong aku, lepas dari perasaan resah ini.  Entahlah. Mungkin Tuhan juga sudah bosan lihat tingkahku. Datang memohon-mohon sama Dia, kalau lagi kepepet saja. Tapi kalau lagi happy, kamu di mana, nak?? Ihhh rasanya merinding bulu kudukku memikirkan betapa egoisnya aku. Ahhh, maafkan aku Ya Tuhan. Plissssssssss!!!! Muaachhhh!!! Engkau memang Tuhanku yg paling baik bisikku dalam hati. Berharap lagi, Dia akan mendengar bisikkanku…Hmmmm! Seperti biasa bener-bener gombal banget.:-(

Buku Selimut Debu dimata saya

Kalau ada 6 milyar manusia menuliskan catatan perjalanan hidupnya, maka tak ada satupun yg persis sama kisah atau memoarnya. Masing-masing penulis punya gaya bertutur dan aura yg berbeda-beda. Begitu pula Agustinus Wibowo, dia punya gaya dan aura yg khas dan unik.

Aku bertanya-tanya dalam hatiku, apa yg ada dibenaknya Agustinus ketika harus melewati berbagai dusun dan lembah di sepanjang petualangan gilanya ini. Negeri Afghan yg dikisahkannya dalam buku ini tak lebih dari sebuah negeri yg miskin dan berkubang debu dan debu. Penderitaan dan debu adalah menu utama mereka sehari-hari. Meskipun di tengah kubangan debu-debu ini, masih tersisa selaksa keramahtamahan  dan kearifan saat menjamu para tamu dan para musafir yg melintasi negeri mereka  yg sudah carut marut dan hancur lebur dibombardir oleh perang yg berkepanjangan dan tak berkesudahan.

Aku bertanya-tanya dalam hatiku, apa yg membuat Agustinus bertahan untuk menuntaskan misinya menjelajahi negeri berkubang debu ini? Setiap jengkal dan jejak yg dilalui Agustinus di negeri Afghan ini  tak lebih dari gambaran kesuraman, kepedihan,kegetiran dan penderitaan hidup yg tak pernah terbayangkan dalam otakku. Lalu mengapa Agustinus tetap bertahan? Bertahan untuk menjelajahi negeri yg miskin dan berkubang debu itu. Apa yg menggerakkan kaki Agustinus menuju negeri yg berselimut debu ini. Tanya tak berjawab itu terus bergaung di dalam rongga otakku.

Aku bertanya-tanya dalam hatiku, apakah ada terlintas rasa takut di dirinya saat Agustinus  harus berjuang sendirian ditengah beratnya perjalanan itu? Membaca kisah yg dituturkannya  bab demi bab saja sudah membuat tubuhku mengkerut ketakutan, ngilu dan sakit di sekujur tubuhku. Seperti apa rasanya tidur di tempat-tempat yg sangat kotor dan berdebu, dan jauh pula dari jangkauan sahabat, saudara, orang tua dan handai taulannya. Jauh dari rasa aman dan tentram. Yg ada setiap detik harus berpasrah diri kepada kemurahan dan kebaikan alam serta kemurahan Sang Pemberi Hidup. Sang Pemberi Hidup yg senantiasa mengatur setiap partikel yg ada dijagat raya ini agar berfungsi sebagaimana mestinya.  Hmmm..rasanya pengen dengar langsung dari bibir Agustinus, ada tidak terlintas rasa takut itu?Kalau ada, bagaimana dia mengatasi semua ini?Apa yg dirasakan Agustinus setiap kali dia lolos dari berbagai perangkap,jebakan dan warna-warni kehidupan masyarakat Afghan yg serba unik dan rumit menurut kaca mata  aku pribadi.

Rasanya ingin tahu apakah dia pernah hampir menangis atau putus asa saat perjalanan ini sudah begitu terasa berat melebihi batas kekuatan tubuhnya…hehehe.

Banyak pertanyaan yg berputar-putar di dalam kepalaku. Rasanya membaca buku Selimut Debu ini membuat aku semakin percaya, bahwa banyak hal dalam hidup ini yg tak bisa persis sama dan sesuai dengan rencana yg kita buat. Bahkan kini setelah tuntas membaca buku Selimut Debu ini, aku menjadi ingat sebuah perenungan yg ditulis oleh  Harun Yahya : “Hidup dan nasib bisa tampak berantakan, misterius, fantastis, dan sporadis, namun setiap elemennya adalah sub sistem keteraturan dari sebuah desain holistic yang sempurna. Menerima kehidupan berarti menerima kenyataan bahwa tak ada hal sekecil apapun terjadi karena kebetulan. Ini fakta penciptaan yang tak terbantahkan.”

nuchan@03122010
Life is so beautiful
Every breath counts, every moment matters. Life is God’s gift to our planet. A lifetime is not enough for us to know ourselves. Yet we waste time in perverse pleasures, unmindful of our own beauty. If you are not living your life to the fullest, you are missing something.

No comments:

Post a Comment