I. Pendahuluan
Berbicara tentang perkembangan Kekristenan di Tanah Batak sangatlah berkaitan dengan pengaruh penginjilan yang dilakukan oleh Missionaris Barat, khususnya Jerman. Secara khusus dalam gereja HKBP perkembangannya pada tahap awal sangat ditentukan oleh Badan Zending yang disebut sebagai RMG. RMG mengutus para penginjil ini ke tanah Batak dengan tujuan memberitakan Injil Kristus bagi orang Batak yang masih hidup tradisional, miskin, dan sarat dengan nilai-nilai mitos/sihir.
Untuk memudahkan penginjilan itu dalam konteks budaya Batak, maka para Missionaris ini belajar tentang karakter, adat atau budaya, dan bahasa Batak sendiri. Mereka bergaul dengan penguasa-penguasa atau raja-raja wilayah di daerah Silindung, Toba, sekitarnya. Dalam pelaksanaannya, para missionaris melakukan berbagai strategi yang berorientasi pada nilai-nilai Injili. Seperti yang dilakukan oleh Dr. I. L. Nommensen yaitu melalui ilmu pertanian, ilmu kesehatan, pendidikan (sekolah), dan pasar dan sistem onan atau pekan. Injil diberitakan sejalan dengan berbagai upaya yang membebaskan orang Batak dari kesengsaraan sosialnya. Beberapa hal yang dilakukan Nommensen yaitu mendirikan pusat kesehatan di Huta Dame, mendirikan koloni-koloni Zending di Silindung yang berkecimpung dalam perusahaan dagang secara besar-besaran dengan harapan untuk memperkenalkan tehnik-tehnik pertanian modern. Ia juga menebus para budak yang tadinya ditetapkan akan dibunuh, meminjamkan dengan jasa rendah dan menyembuhkan orang sakit.
Dulunya orientasi orang Batak adalah kehidupan pertanian yang layak dimana banyak anak maka akan mengalir untung besar. Anak menjadi sumber rejeki untuk mengolah sawah. Namun seiring dengan masuknya pendidikan, lambat laun orientasi ini berubah. Tahun 1900-an, RMG mengutus beberapa orang dokter kesehatan untuk bekerja di tanah Batak, misalnya dr. Julius Schreiber yang bekerja di Pearaja. Dan pada tahun yang sama juga, missionaris Steinsieck mulai mendirikan panti sosial yang menampung penderita kusta di Huta Salem. Perkembangan Kekristenan selanjutnya dipengaruhi pada bidang ini. Untuk memahami tulisan ini dengan baik maka kelompok menyusun tulisan ini dengan sistematis sebagai berikut:
II. Situasi sosial dan kepercayaan masyarakat Batak
Suku Batak awalnya hidup sangat terpencil. Suku Batak hidup di daerah pegunungannya. Mereka tidak diindahkan oleh gereja VOC. Namun Tanah Batak juga tidak dapat disentuh dengan berhasil oleh agama dan kekuasaan manapun. Orang Batak mempertahankan kebudayaan sendiri seperti halnya tor-tor, gondang, ulos dan sebagainya.
• Dasar dan peraturan sosial ;Peraturan semata-mata didasarkan atas ikatan-ikatan sebagai hasil kekerabatan. Peraturan itu bersifat patrilinear (mengikuti garis keturunan ayah). Biasanya hal ini ditandai dengan marga. Marga adalah suatu hubungan suku Batak yang paling penting. Nama marga dipakai sebagai nama keluarga. Setiap marga memiliki nenek-moyang sendiri.
• Peraturan perkawinan ; Marga memiliki arti yang sangat penting di dalam hidup suku Batak. Hal ini tampak jelas dalam aturan perkawinan Eksogami yang artinya bahwa perkawinan dan persekutuan sexual diantara anggota marga sendiri adalah terlarang. Siapa yang melanggarnya dipandang telah menodai darahnya. Berdasarkan tata tertib perkawinan ini, ada tiga kelompok di dalam masyarakat yang memiliki arti yang menentukan di bidang sosial dan religi yang disebut dengan Dalihan Na Tolu, yakni: somba marhula-hula, elek marboru, manat mardongan tubu.
• Situasi agama kepercayaan masyarakat Batak ; Kata yang dipakai untuk mengungkapkan dewa atau Tuhan dalam kepercayaan orang Batak adalah debata. Adapun yang dimaksud dengan debata adalah masing-masing dewa dan kesatuan para dewa. Seperti Debata Mula Jadi, Debata Batara Guru, Debata Soripada, dan sebagainya.
III. Sejarah Penginjilan di Tanah Batak
Pekabaran Injil atau Zending sudah memasuki Indonesia pada masa pendudukan Portugis di kepulauan Maluku (1512-1605) ditandai dengan menetapnya beberapa misionaris Yesuit (Katolik Roma) di Ternate, pada tahun 1522. Penakluk VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) terhadap Portugis di Maluku pada tahun 1605 memulai babak baru Pekabaran Injil oleh Gereja Protestan. Akan tetapi, awal abad ke-19 tetap dicatat sebagi masa-masa bersejarah Pekabaran Injil di Indonesia, dengan bekerjanya sejumlah organisasi Zending oleh Gereja-gereja Protestan dari Belanda dan Jerman (baca : Pekabaran Injil di Indonesia) .
Organisasi Pekabaran Injil Belanda yang sudah melakukan misinya di Indonesia adalah Nederlandse Zendeling Genootschap (NZG), dimulai selama Belanda di bawah kekuasaan Perancis (1795-1813) dan Indonesia di bawah pemerintahan sementara Inggris (Gubenur Jenderal Sir Thomas Stamford Bingley Raffles (1811-1816). Perhimpunan Belanda lainnya yang menyusul adalah Nederlandse Zendingsvereniging (NZV), Utrechtse Zendingsvereniging (UZV), sedangkan dari Jerman adalah Rheinische Missinsgesekkschaft (RMG). Biasanya pekabaran Injil dilakukan tersebar di koloni-koloni pemerintah Belanda di sejumlah pulau di Indonesia, antara lain di Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Tenggara, Irian, Halmahera, Buru, Poso, Sangir, dan Talaud.
Ketika pekabaran Injil sudah dilakukan secara sistematis di sejumlah daerah di Indonesia tidak demikian halnya di Tanah Batak (Utara). Kawasan ini masih sangat tertutup seperti dikelilingi kabut misteri. Suku Batak Toba yang mendiaminya tetap asyik dengan kehidupan sosial yang dicengkeram agama suku, masih pelbegu, peradaban yang cenderung primitif karena hidup dalam permusuhan, perbudakan, penculikan, perampokan, perjudian, dan kanibalisme. Maka istilah “Jangan coba-coba mendekati orang Batak” memaksa Burton dan Ward menarik langkah mereka mundur dari Tanah Batak saat berkunjung Juli 1824. Burton dan Ward adalah utusan Baptist Church of England , tercatat sebagai misionaris pertama yang mengunjungi Tanah Batak.
Namun, ada versi lain yang mengatakan tentang Burton dan Ward bahwa kegairahan yang menjiwai penganut revival atau pietisme menyebabkan mereka datang ke Sumatera untuk mengabarkan Injil. Mereka adalah orang-orang Inggris dan Amerika. Tetapi pemerintahan Belanda tidak suka akan kehadiran orang Asing ke wilayah kekuasaannya. Akibatnya tiga orang Pekabar Injil dari Inggris diusir (1824). Mereka bertiga adalah pekabar Injil dari Gereja Baptis yang bernama Burton dan Ward dan Evans. Burton dan Ward berhasil mencapai negeri Batak yang paling sentral yaitu Silindung dengan selamat. Namun, mereka mendapat penolakan dari raja setempat dimana menganggap adat Batak masih sangat baik untuk mengatur hidup mereka. Disini jelas bahwa sikap hidup orang Batak benar-benar terfokus pada satu sasaran yang memperbesar sahala-nya.
Setelah kunjungan Burton dan Ward maka semakin kuatlah persaingan yang dialami oleh orang Batak saat itu. Penganut agama Islam dan Kristen sudah sangat berkeinginan memperkenalkan kepercayaannya kepada orang-orang Batak. Islam datang dari Padang oleh kalangan Padri sampai ke Danau Toba dan orang-orang Belanda menduduki daerah Tanah Batak sebelah Barat, yaitu Angkola dan Mandailing. Namun orang-orang Batak tetap sangat sulit untuk menerima kehadiran agama itu. Diperkirakan pada tahun 1825, pasukan Padri dan Bonjol, Minangkabau yang dipimpin Tuanku Rao menyerang Tanah Batak. Serangan mendadak berkekuatan 15.000 pasukan berkuda membasmi lebih dari separuh komunitas Batak Toba, peristiwa genocide (pembantaian suku) yang sangat mengerikan dalam sejarah Batak. Sebagian korban meninggal diakibatkan epidemi ganas yang berasal dari bangkai binatang peliharaan dan mayat-mayat yang tidak sempat dikubur.
Ada dua versi mengenai penyerangan Padri yaitu :
• Pertama, upaya penyebaran agama Islam oleh Imam Bonjol yang dikenal sebagai penganut mazhab Hambali berhaluan keras.
• Kedua, aksi balas dendam Tuanku Rao terhadap Raja Sisingamangaraja X. Konon, Tuanku Rao adalah si Pongki Nangolngolan, bere (keponakan) Raja Sisingamangaraja X yang diusir dari istana waktu masih kecil. Raja Sisingamangaraja sendiri tewas di tangan Tuanku Rao dengan cara dipenggal dari belakang.
Penyerangan Padri menimbulkan trauma di kalangan suku Batak Toba dan sangat menaruh curiga pada setiap pendatang. Pada tahun 1834, ada dua orang missionaries Amerika yang bernama Samuel Munson dan Henry Lyman (Zending Boston) tiba di Sibolga dan menuju Lembah Silindung. Ketika mereka tiba disana, pada tanggal 28 Juni 1834, mereka harus berhenti dan bermalam di Lobupining. Pada malam itu raja Panggalamei beserta rakyatnya menangkap dan menyembelih kedua orang itu dan kemudian memakannya. Namun ada juga sumber yang mengatakan bahwa kedua mayat missionaris ini terlebih dahulu dipertontonkan di sebuh pekan Lobupining sebagai tanda kemenangan kemudian dimakan dagingnya sampai tinggal kerangka. Menurut Warneck, hal ini terjadi akibat ketakutan dan kemarahan orang Batak terhadap bahaya yang mengancam kebebasan mereka yang datang dari pihak “Sibontar Mata”.
Belanda sendiri sudah sudah menguasai Sumatera Barat dan Tanah Batak Bagian selatan (Mandailing dan Angkola) setelah berhasil menaklukkan pasukan Padri dalam perang yang disebut Padri Oorlog (perang Padri) pada tahun 1837. Pada tahun itu juga Belanda telah menarik garis-garis perbatasan antara daerah-daerah Batak yang mereka kuasai dengan daerah Batak yang belum dikuasai. Daerah Batak yang dikuasai Belanda adalah pantai Barus, Natal, Mandailing, Barumun-Sosa, Padang Batak Angkola, dan Sipirok. Daerah-daerah itu disebut Keresidenan Tapanuli dipimpin seorang residen berkedudukan di Sibolga. Sedangkan daerah Batak yang belum dikuasai Belanda –disebut “Daerah Batak Merdeka” (De Onafhankelijke Bataklanden) terdiri dari kawasan yang didiami Batak Toba, yaitu Silindung, Humbang, Toba, dan Samosir.
Secara umum Pekabaran Injil di dunia adalah mengikuti pembukaan segala benua melalui gerakan imperialisme dan kolonialisme. Maka, tak heran apabila misionaris perintis di Tanah Batak tertahan di Sipirok dan Angkola yang sudah masuk dalam penaklukan Belanda, belum masuk ke Tanah Batak sebelum daerah itu betul-betul masuk dalam kekuasaan Belanda . Setelah Burton–Ward dan Munson Lyman, misionaris perintis lain yang menyusul adalah Gerrit van Asselt. Dia diutus Ds Wetteven dari kota Ermello, Belanda, tiba di Sumatra Mei 1856 dan berpos di Sipirok ,1857. Organisasi yang megirimkan Gerrit van Asselt sangat kecil, bahkan dalam buku Sejarah Gereja, karangan Dr.H .Berkog dan Dr. IH Enklar sama sekali tidak disebut-sebut. Ada yang mencatat Zending Ermello berada di bawah naungan Nederlandse Zendingsvereniging (NZV). Akan tetapi, karena NZV baru berdiri pada tahun 1856, besar kemungkinan Zending Ermello berada di bawah naungan Nederandse Zending–Genootschap (NZG) yang berdiri pada tahun 1797, sebuah organisasi Zending dari mana NZV berasal.
Karena ketiadaan dana Gerrit van Asselt pun membiayai sendiri tugas–tugasnya sebagai penginjil. Hasilnya tentu tidak maksimal karena konsentrasinya terbagi sebagai opzichter (pelaksana) pembangunan jalan di Sibolga dan kemudian menjadi opzichter (administrator) gudang kopi milik Belanda di Sipirok. Zending Ermelo mengirimkan lagi beberapa misionaris mendaampingi Gerrit van Asselt, yaitu F. G. Betz, Dammerboer, Koster, dan van Dallen. Misionaris menyusul ini bekerja sebagai tukang, mengingatkan model Pekabaran Injil yang dilakukan Ds. O. G. Heldring di Irian, Sangir dan Talaud.
Koster dan Van Dalen ditempatkan di Pargarutan. Van Dallen kemudian pindah ke Simapilapil. Dammerbooer jadi opzichter di sekolah Belanda sebelum ke Huta Rimbaru dan masuk ke Mission Java Komite. Gerrit van Asselt sendiri pada 31 Maret 1961 membaptis orang Batak Kristen pertama, Simon Siregar dan Jakobus Tampubolon di Sipirok. Rencana awal dia ingin pergi ke pedalaman, tetapi pemerintah Belanda melarang Van Asselt meneruskan perjalanan ke Silindung (ini akibat dari pengalaman missionaries yang sebelumnya).
IV. RMG (Rheinische Mission Gesellschaft)
Semangat Pekabaran Injil de Eropa tak lagi tergantung pada kerjasama suatu Gereja dengan pemerintahnya yang melakukan kolinialisasi ke berbagai benua. Di Jerman, di tepi sungai Zending. Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) yang berdiri pada tahun 1818 mengutus misionaris ke daratan luas dan suku-suku bangsa besar di Afrika dan Tiongkok, termasuk ke Indonesia yang berada di bawah penguasaan Belanda. Ia berjasa bagi penanaman Injil dan tumbuhnya gereja Kalimantan Evangelis (GKE), HKBP, GKPS, BNKP, Gereja Kristen Protestan Mentawai. Salah satu Pekabar Injil yang terkenal adalah Dr. I.L Nommensen yang diberi gelar rasul Batak .
Di Indonesia, RMG pertama sekali mengkonsentrasikan perkerjaannya di Kalimantan Tenggara sejak tahun 1836. Pada tahun 1859 meletus Perang Banjar yang dipimpin Pangeran Hidayat. Perang tersebut menelan banyak korban tewas – termasuk 4 pendeta, 3 istri, dan 2 anak Mereka. RM terpaksa mengundurkan Pekabaran Injil di sana lalu memindahkannya ke Tanah Batak (1861), Nias (1865), Mentawai (1901), dan Enggano (1903), Pekabaran Injil yang ditinggalkan RMG di Kalimantan Tenggara diteruskan Basler Mission Dari Swiss.
Pemindahan Zendeling dari Kalimantan ke Tanah Batak terkait dengan penugasan pimpinan RMG, Inspektur Dr.Friedrich Fabri kepada misionaris yang tertahan di Batavia akibat Perang Banjar, pada tahun 1860. Ketika itu Febri berkunjung ke Amsterdam, Belanda. Dia sangat tertarik pada dokumen van der Took mengenai suku Batak Toba yang ditelitinya pada tahun 1849. Fabri mengutus Hoefen mengunjungi Tanah Batak, dan berdasarkan laporan Hoefen RMG menugaskan dua misionaris, Klammer yang bertahan di Batavia dan Heine yang langsung didatangkan dari Barmen, ke Tanah Batak. Keduanya tiba di Sibolga 17 Agustus 1961 dan memilih Sipirok sebagai pos utama. Heine dan Klammer tinggal melapor ke residen Tapanuli di Sibolga karena Fabri sudah lebih dahulu meminta izin atas penugasan kedua misionaris itu ke pemerintahan Belanda.
Dengan demikian telah bertugas misionaris Sending Emello dan RM di perbatasan Tanah Batak Utara dan Tanah Batak Selatan. Karena Pekabaran Injil bersifat supranasional, atas koordinasi Zending Emello dan RM, Betz dan van Asset bergabung dengan Heine dan Klammer di bawah naungan RM. Keempat misionaris itu melakukan rapat pembagian tugas pada 7 Oktober 1861. Bentz mendapat tugas di tempat pelayanan yang telah dia buka sebelumnya, yaitu Bungabondar, Klammer di Sipirok, sedangkan Heine dan van Asselt di Pangaloan. Tanggal pembagian tugas inilah yang kemudian dicatat sebagai hari jadi atau lahirnya HKBP (Huria Kristen Batak Protestan).
Lothar Schreiner,dalam bukunya Adat dan Injil membuat tahapan sejarah pengkristenan orang Batak denga merujuk pada tugas pelayanan Ingwer Ludwig Nommensen dan di mulainya pekabaran Injil oleh RMG (Rheinische Mission Gesellschaft) di tanah Batak, yaitu :
• 1861-1881: di sebut sebagai peletakan dasar-dasar pertama perkabaran Injil oleh Nommensen dan PH Johansen di lembah Silindung,dengan sokongan kuat dari penguasa lokal Raja Pontas Lumbantobing,di susul dengan penerjemahan kitab-kitab dasar untuk jemaat-jemaat, yakni Katekismus Kecil pada tahun 1874 dan perjanjian baru pada tahun 1878.Tata Gereja yang pengaruhnya paling dalam serta lama karena berlaku sampai tahun 1930, diberlakukan mula-mula pada tahun 1881.
• 1881-1901: Nommensen memindahkan tempat kediamannya ke Toba dan merencanakan serta memimpin sendiri pekerjaannya. Didirikanlah jemaat-jemaat dalam wilayah yang semakin luas di daerah-daerah danau Toba dan ditampung golongan-golongan besar, sehingga terbentuklah suatu gereja suku. Pada tahun 1885 pendeta-pendeta pertama ditahbiskan. Sampai dengan tahun 1901 sudah 48.000 orang Batak dibaptiskan.
• 1901-1918: masih dicirikan oleh prakarsa Nommensen termasuk melakukan pekabaran Injil ke Batak Simalungun. Di Simalungun pengkristenan tidak lagi berlangsung begitu sistematis sebagaimana terjadi di kalangan Batak Toba. Barulah setelah tahun 1940 sebagian besar orang-orang Batak Simalungun berhasil dikristenkan.
• 1918-1940: ditandai dengan pekerjaan J.Warneck sebagai Ephorus menggantikan Nommensen yang meninggal dunia pada tahun 1918, melalui suatu tata gereja yang baru membuat Gereja Batak mandiri secara yuridis. (Dalam bukunya Lothar Schreiner menyebut HKBP dengan Gereja Batak). Barulah pada 1940 HKBP berhasil mandiri dalam arti yang sebenarnya, yakni ketika para zendeling jerman diinternir dan sinode memilih seorang pendeta Batak, K.Sirait menjadi ephorus.
• 1940-1954: ditandai dengan masa pendudukan Jepang dan masa revolusi di Indonesia. Pendidikan pendeta dan penyelenggaraan jemaat-jemaat dilakukan tanpa bantuan dan sokongan luar negeri. Hubungan-hubungan dengan luar negeri pulih ketika HKBP menjadi anggota yang ikut mendirikan Dewan Gereja-gereja se-Dunia (1948) dan dengan pengakuan Iman sendiri (1951) memasuki Federasi Gereja-gereja Lutheran se-Dunia(1952).
• 1954-hingga buku Gereja dan Injil,ini diterbitkan pada tahun 1972: Ditandai dengan didirikannya Universitas Nommensen (1954) dengan kira-kira 3.000 mahasiswa pada tahun 1971,dan suatu tata gereja baru (1962) yang dengannya dihapuskan sinode distrik. HKBP juga mengembangkan usaha pendidikan dan penginjilan dikalangan orang-orang Jawa di Sumatera Timur, orang-orang Sakai di Riau, dan di Malaysia. Pada permulaan tahun 1960-an HKBP hampir mempunyai 900.000 anggota di Sumatera dan banyak jemaat di pulau lainnya dan di Singapura. Dalam perkembangannya HKBP beberapa kali mengalami peristiwa “ditinggalkan jemaat”, di mulai tahun 1927 dengan berdirinya Mission Batak, disusul Huria Christen Batak (HCB), Punguan Kristen Batak (PKB), dan Huria Kristen Indonesia (HKI). Pada tahun 1964 sejumlah anggota keluar dan menamakan diri Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI). Atas kemelut HKBP yang terjadi pada tahun 1990-an sejumlah anggota juga banyak yang pindah ke Gereja lain. Menurut Almanak HKBP tahun 2007 HKBP memiliki 3.139 gereja yang tersebar di Indonesia bahkan di Singapura dan Amerika Serikat. Dengan jumlah lebih dari 5 juta jemaat HKBP di catat sebagai lembaga keagamaan dengan jumlah angota terbesar ketiga setelah Nahdatul Ulama (NU) dan Muhamadiyah.
V. Akulturasi Oleh Dr. I. L. Nommensen
Nommensen masuk ke kawasan Batak pada 16 Mei 1862 lewat Padang, Sumatera Barat. Dari situ, ia memulai misinya lewat pelabuhan Sibolga dan Barus, hingga ke daerah Tapanuli. Berbeda dengan para misionaris pendahulunya yang mati dibunuh raja-raja Batak, Nommensen menuai sukses karena mempelajari terlebih dahulu adat istiadat setempat. Ia tidak berupaya mengubah kebiasaan masyarakat Batak lewat ajaran-ajaran Kristiani ala Eropa. Justru, ia melakukan pendekatan dengan membiarkan adat mereka untuk mulai memperkenalkan agama Kristen. Ajaran-ajaran Nommensen pun diterima dengan damai. Apalagi, ia memasukkan unsur pedagogi ke setiap gereja yang ia bangun. Setiap gereja juga berfungsi sebagai sekolah, dimana Nommensen sendirilah yang menjadi guru. Setelah cukup sukses, barulah beberapa pendeta lain didatangkan khusus untuk menjadi staf pengajar.
Dari langkah kecil itu, agama Kristen pun menyebar ke seluruh Tanah Batak yang belum tersentuh oleh agama Islam. Bahkan, karena cintanya pada Tanah Batak, suatu kali usai disakiti oleh warga setempat, menurut sejarah, Nommensen justru sempat bernazar, akan mendedikasikan seluruh hidup dan matinya dengan bangsa tersebut .Padahal, di tubuhnya tak mengalir setetes darah Batak pun. Nommensen lahir dan besar di Schleswig-Holstein, sebuah distrik antara Denmark dan Jerman, pada 1834. Sejak kecil, ia hidup dalam kemiskinan, namun dibesarkan dalam keluarga yang mencintai Tuhan. Usai melaksanakan pelatihan sebagai pendeta, ia memulai perjalanannya ke Sumatera.
I.L. Nommensen melakukan metode pengkristenan tidak lagi secara perorangan melainkan pengkristenan secara massal. Dengan demikian jemaat Kristen semakin cepat berdiri di tengah-tengah masyarakat Batak. Jemaat-jemaat dan ressort –ressort bertumbuh kemudian berkembang demikian cepat sehingga RMG melihat bahwa perlunya mengangkat I.L.Nommensen pada tahun 1881 untuk memimpin seluruh gereja Batak tersebut . Nommensen meninggal di Tanah Batak pada 23 Mei 1918 dan dimakamkan di belakang Gereja Nommensen bersama istri, anak dan anjing kesayangannya. Hingga kini, makamnya masih menjadi pusat ziarah masyarakat Batak Kristen, bahkan warga Jerman yang memahami perjuangannya sebagai seorang misionaris dan tokoh masyarakat.
Boleh dibilang, menyebarnya agama Kristen ke seluruh masyarakat Batak hingga kini merupakan buah perjuangan kerasnya. Entah itu di bawah Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Huria Kristen Indonesia (HKI), atau lainnya, semua sama-sama bermuara pada satu nama, yaitu Nommensen. Bahkan, ialah yang pertama kali menerjemahkan Injil dari bahasa Yunani ke dalam aksara Batak agar lebih mudah dipahami para gembalanya .
Siapa Ingwer Ludwig Nommensen?
Sosok anak manusia yang memiliki keberanian, kesungguhan, ketulusan dan jiwa petualangan, ada pada diri Ingwer Ludwig Nommensen. Di besarkan di bawah budaya barat, Nommensen berani menetapkan pilihan untuk mendatangi dunia lain yang sama sekali berbeda, jauh dan penuh misteri — Tanah Batak –
Berbekal sebagai seorang theolog muda, menerima tantangan untuk mendedikasikan ilmu, iman dan pengabdiannya bagi Bangso Batak, yang hanya diketahui dari buku literatur yang terbatas dan dengar-dengaran dari sumber-sumber yang belum tentu teruji kemampuannya dalam menggambarkan sifat, sikap dan alam Batak, nun jauh di timur.
Tentu melihat ini kita diminta untuk memutar roda waktu ke tahun 1861, dengan segala keterbatasannya, tanpa kecanggihan transportasi dan alat komunikasi. Terbukti, untuk tiba di tempat yang akan ditujunya menghabiskan waktu 142 hari, yang saat ini dapat kita tempuh hanya 11 jam kurang lebih.
Perbedaan budaya, bahasa dan agama tidak menyurutkan niatnya untuk memulai “pengabdian” di tengah perlawanan dan ancaman Bangsa Batak yang belum terbiasa menerima kehadiran “orang aneh”, yang berlainan bahasa, pola hidup, warna kulit dan mata serta rambutnya.
Kesungguhan dan keteguhan Nommensen, terbukti mampu memenangkan penolakan besar Bangsa Batak yang berbuah pada dimulainya era baru bagi kehidupan sosial dan spiritual, hingga berimplikasi luas pada tatanan mayoritas Batak. Pendekatan sosial religius, tidak terpungkiri mewarnai kehidupan sebagian besar di antara kita saat ini.
Nommensen, sang Peretas!
Tidak sekedar untuk dikenang, nostalgia masa lalu, tentu ada pelajaran besar dari penggalan perjalanan hidup Nommensen. Untuk kita pelajari dan ketahui.
Tahun 1834, tanggal 6 Februari
Ingwer Ludwig Nommensen lahir di Nortdstrand, pulau kecil di panatai perbatasan Denmark dan Jerman. Dia anak pertama dan lelaki satu-satunya dari empat orang bersaudara. Ayahnya Peter dan ibunya Anna adalah keluarga yang sangat miskin di desanya. Sejak kecil, dia sudah tertarik dengan cerita gurunya Callisen tentang misionar yang berjuang untuk membebaskan keterbelakangan, perbudakan pada anak-anak miskin.
Tahun 1846 pada umur 12 tahun
kedua kakinya sakit parah karena kecelakaan kereta kuda pulang dari sekolah. Selama setahun lebih tidak dapat berjalan, kakinya hampir diamputasi. Dia berjanji kepada Tuhan bahwa akan menjadi misionar apabila kedua kakinya sembuh kembali. Dia akan pergi jauh untuk membebaskan anak-anak miskin yang budak karena hutang orang tuanya, dia akan memberitakan Firman Tuhan kepada pelbegu yang sangat terbelakang sebagaimana sering diceritakan gurunya Callisen yang sangat dikaguminya.
kedua kakinya sakit parah karena kecelakaan kereta kuda pulang dari sekolah. Selama setahun lebih tidak dapat berjalan, kakinya hampir diamputasi. Dia berjanji kepada Tuhan bahwa akan menjadi misionar apabila kedua kakinya sembuh kembali. Dia akan pergi jauh untuk membebaskan anak-anak miskin yang budak karena hutang orang tuanya, dia akan memberitakan Firman Tuhan kepada pelbegu yang sangat terbelakang sebagaimana sering diceritakan gurunya Callisen yang sangat dikaguminya.
Tahun 1847
Kedua kakinya sembuh secara ajaib, dia dapat berjalan seperti sediakala. Dia kembali ke sekolah pada musin winter (musim dingin) karena pada musin summer dia akan menjadi gembala domba untuk menerima upahan karena orangtuanya sangat miskin.
Kedua kakinya sembuh secara ajaib, dia dapat berjalan seperti sediakala. Dia kembali ke sekolah pada musin winter (musim dingin) karena pada musin summer dia akan menjadi gembala domba untuk menerima upahan karena orangtuanya sangat miskin.
Tahun 1848, tanggal 2 Mei
Ayahnya Peter Nommensen meninggal dunia. Ingwer Ludwig Nommensen sebelumnya bermimpi akan kehilangan ayahnya, maka ia tidak terkejut ketika orang membawa ayahnya ke rumah yang meninggal di tempat kerjanya.
Tahun 1849
Pada umur 15 tahun (suatu pengecualian), dia mendapat sidi. Biasanya, orang akan diijinkan mendapat sidi pada umur 17 tahun. Namun, karena Ingwer Ludwig Nommensen sudah tidak obahnya seperti ayah dari dari segi tanggung jawab kepada keluarga maka diberi pengecualian kepadanya. Dia mendapat sidi setelah setahun belajar Alkitab.
Tahun 1854
Ibu Ingwer Ludwig Nommensen merestui anaknya, satu-satunya lelaki di antara empat orang bersaudara, menjadi seorang misionar.
Tahun 1857
Ingwer Ludwig Nommensen masuk sekolah pendeta di RMG Barmen setelah menunggu sekian lama.
Tahun 1858, Januari Ibunya meninggal dunia di Nordstrand.
Tahun 1859
4 orang Misionar RMG Barmen serta 3 orang isteri misionar terbunuh di Borneo, berita itu semakin menggugah hati Ingwer Ludwig Nommensen untuk pergi ke daerah pelbegu.
Tahun 1861, 7 Oktober
berdiri HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) di Praosorat Sipirok, sebagai permulaan Misi Kongsi Barmen di Tanah Batak. Hari itu terjadi kesepakatan 4 orang Misionar Belanda dan Jerman yaitu:
H (Heine)K (Klammer)B (Betz) danP (Van Asselt) menjadi penginjil atas tanggung jawab Rheinische Missionsgeselshaft dari Barmen, Wupertal, Jerman, yang lazim diebut Kongsi Barmen.
Tahun 1861, Oktober
Ingwer Ludwig Nommensen ditahbiskan sebagai pendeta dan langsung diberangkatkan oleh Missi Barmen menjadi misionar ke Tanah Batak, tetapi selama 2 bulan dia masih belajar Bahasa Batak dan Budaya Batak dari Dr. Van Der Tuuk di Belanda.
Tahun 1861, Desember
Ingwer Ludwig Nommensen berangkat dari Amsterdam menuju Sumatera dengan kapal Pertinar. Pelayaran itu memakan waktu selama 142 hari.
Tahun 1862, 14 Mei
Setelah mengalami banyak cobaan di lautan, Ingwer Ludwig Nommensen mendarat di Padang. Selanjutnya dia tinggal di Barus. (Kapal Pertinar kemudian tenggelam dalam lanjutan pelayaran kea rah timur di sekitar Laut Banda dekat Irian Barat).
Tahun 1862, November
Bersama beberapa orang Batak, mengadakan perjalanan ke pedalaman Sumatera melalui Barus dan Tukka. Dari Barus, Ingwer Ludwig Nommensen pergi ke Prausorat dan kemudian tinggal dengan Van Asselt di Sarulla.
Tahun 1863, November
Ingwer Ludwig Nommensen pertama kali mengunjungi Lembah Silindung. Dia berdoa di Bukit Siatas Barita, di sekitar Salib Kasih yang sekarang. “Tuhan, hidup atau mati saya akan bersama bangsa ini untuk memberitakan FirmanMu dan KerajaanMu, Amin!”
Tahun 1864, Mei
Ingwer Ludwig Nommensen diijinkan memulai misinya ke Silindung, sebuah lembah yang indah dan banyak penduduknya.
Tahun 1864, Juli
Ingwer Ludwig Nommensen membangun rumahnya yang sangat sederhana di Saitnihuta setelah mengalami perjuangan yang sangat berat.
Tahun 1864, 30 Juli
Ingwer Ludwig Nommensen menjumpai Raja Panggalamei ke Pintubosi, Lobupining. Raja Panggalamei beserta rombongannya 80 orang membunuh Pendeta Hendry Lyman dan Samuel Munson (missionar yang diutus oleh Zending Gereja Baptis dari Amerika) di sisangkak, Lobupining pada tahun 1834, bertepatan dengan tahun lahirnya Ingwer Ludwig Nommensen di Eropa.
Tahun 1864 , 25 September
Ingwer Ludwig Nommensen mau dipersembahkan ke Sombaon Siatas Barita dionan Sitahuru. Ribuan orang datang. Ingwer Ludwig Nommensen akan dibunuh menjadi kurban persembahan. Ingwer Ludwig Nommensen tegar menghadapi tantangan, dia berdoa, angin puting beliung dan hujan deras membubarkan pesta besar tersebut. Ingwer Ludwig Nommensen selamat, sejak itu terbuka jalan akan Firman Tuhan di negeri yang sangat kejam dan buas. Ingwer Ludwig Nommensen pantas dijuluki “Apostel di Tanah Batak”
Tahun 1865, 27 Agustus
Pembaptisan pertama di Silindung terhadap empat pasang suami-istri beserta 5 orang anak-anaknya. Diantara keluarga yang dibaptis pertama adalah Si Jamalayu yang diberi nama Johannes dengan istrinya yang dibawa dari Sipirok sebagai pembantu Ingwer Ludwig Nommensen diberi nama Katharina.
Tahun 1866, 16 Maret
Ingwer Ludwig Nommensen diberkati menjadi suami-isteri dengan tunangannya Karoline di Sibolga. Karoline datang dari Jerman beserta rombongan Pdt. Johansen yang dikirim Kongsi Barmen untuk membantu Ingwer Ludwig Nommensen di Silindung.
Tahun 1871
Ingwer Ludwig Nommensen mengalami penyakit disentri yang sangat parah, dia pasrah untuk pergi menghadap Tuhannya tetapi dia tidak rela misinya berhenti begitu saja. Dia dibawa Johansen berobat ke Sidimpuan.
Tahun 1864
Karoline melahirkan anak pertama diberi nama Benoni, namun beberapa hari kemudian meninggal dunia.
Tahun 1872
Pargodungan Saitnihuta yang disebut Huta Dame pindah ke Pearaja. Setelah Gereja baru hampir selesai dibangun, putri pertama Ingwer Ludwig Nommensen yang bernama Anna meningal dunia. Keluarga Ingwer Ludwig Nommensen telah kehilangan dua anak pertama, sungguh suatu ujian berat bagi misionaris dalam memulai misinya.
Tahun 1873
Sikola Mardalan-dalan (Sekolah dengan tempat tidak tetap) diciptakan Ingwer Ludwig Nommensen agar Orang Batak bisa secepatnya menjadi guru. Siswa mendatangi Ingwer Ludwig Nommensen di Pearaja, Johansen di Pansurnapitu dan Mohri di Sipoholon dimana para misionaris tersebut bertugas. Atau, misionaris mendatangi siswanya ditempat tertentu.
Tahun 1875
Misionaris Ingwer Ludwig Nommensen, bersama Johansen dan Simoneit bekunjung ke Toba.
Tahun 1876 telah dibaptis lebih dari 7000 orang di Silindung.
Tahun 1876
Ingwer Ludwig Nommensen selesai menterjemahkan Perjanjian Baru ke dalam Bahasa Batak Toba.
Tahun 1877
Ingwer Ludwig Nommensen dan Johansen mendirikan Sekolah Guru Zending di Pansurnapitu. Tempat berdirinya sekolah tersebut adalah tempat yang dulunya dikenal sebagai Pasombaonan (tempat angker), yang sekarang tempat berdirinya STM Pansurnapitu dan Gereja HKBP Pansurnapitu.
Tahun 1877
- Raja Sisingamangaraja ke-XII mengancam akan membumihanguskan kegiatan missioner, ancaman ini tidak menjadi kenyataan.
- Silindung masuk kolonisasi Belanda.
Tahun 1880
Ingwer Ludwig Nommensen beserta istri dan anak-anaknya pergi ke Eropa. Mereka diantar oleh banyak orang sampai ke tengah hutan. Mereka berjalan kaki selama dua hari dari Silindung ke Sibolga, menjalani jalan setapak yang sangat sulit. Mereka menungu keberangkatan dari Sibolga ke Padang selama dua minggu.
Ingwer Ludwig Nommensen beserta istri dan anak-anaknya pergi ke Eropa. Mereka diantar oleh banyak orang sampai ke tengah hutan. Mereka berjalan kaki selama dua hari dari Silindung ke Sibolga, menjalani jalan setapak yang sangat sulit. Mereka menungu keberangkatan dari Sibolga ke Padang selama dua minggu.
Tahun 1881
Menjelang Natal, Ingwer Ludwig Nommensen kembali ke Pearaja. Dia kembali sendirian, isterinya tinggal di Jerman karena masih perlu perawatan. Anak-anaknya juga tinggal di sana agar bisa sekolah dengan baik.
Tahun 1881
Kongsi Barmen menetapkan Ingwer Ludwig Nommensen menjadi Ephorus pertama HKBP, dia digelari ‘Ompu i’
Tahun 1887
Karoline isteri Ingwer Ludwig Nommensen, meninggal di Jerman, sebulan kemudian baru Ingwer Ludwig Nommensen mengetahuinya.
Tahun 1890
Ingwer Ludwig Nommensen memulai misinya ke Toba, dia pindah ke Sigumpar.
Tahun 1891 bulan Mei
Christian, anak ompu Ingwer Ludwig Nommensen, mati terbunuh di Pinang Sori oleh lima orang kuli China di areal perkebunan.
Tahun 1892
Bersama Pendeta Johansen yang juga sudah menduda pergi ke Jerman untuk berlibur, menjenguk anak-anaknya, dan mencari pasangan baru untuk masing-masing misionaris yang telah menduda. Ingwer Ludwig Nommensen mendapatkan jodohnya anak Tuan Harder yang bernama Christine, Johansen mendapatkan jodohnya anak Tuan Heinrich yang bernama Dora. Mereka kembali ke Tanah Batak dengan masing-masing pasangan barunya.
Tahun 1900 Permulaan Zending Batak.
Tahun 1903 Permulaan misi Zending ke Medan
Tahun 1903 Permulaan misi Zending ke Medan
Tahun 1904
Fakultas Theologi Universitas Bonn, Jerman, menganugerahkan gelar Doktor Honouris-Causa di bidang Theologi kepada Ingwer Ludwig Nommensen. Dalam pengukuhan tersebut, Ratu Wilhelmina dari Belanda ikut diundang sebagai tamu.
Tahun 1905
Berkunjung ke Eropa bersama Tuan Reitze, dia mengunjungi Misi Zending di Belanda dan berkunjung kepada Ratu Wilhelmina.
Tahun 1909
Christine Harder, isteri Ingwer Ludwig Nommensen meninggal dunia, setelah melahirkan tiga orang anak. Dia dimakamkan di Sigumpar. Dua anak perempuannya tinggal di Jerman dan belum menikah sewaktu Ompu Ingwer Ludwig Nommensen meninggal pada umur 84 Tahun.
Tahun 1911
- Pesta jubileum 50 tahun HKBP. Pesta besar di onan Sitahuru dihadiri puluhan ribu orang, di tempat dimana 47 tahun sebelumnya Ingwer Ludwig Nommensen mau dibunuh dan dipersembahkan kepada Sombaon Siatas Barita.
- Ratu Wilhelmina dari Belanda menganugerahkan Bintang Jasa ‘Order Of Orange Nassau’ kepada DR. Ingwer Ludwig Nommensen, sebuah bintang jasa yang hanya diberikan kepada orang yang dianggap luar biasa jasanya di bidang kemanusiaan.
Tahun 1912
Berlibur ke Eropa, kembali ke Tanah Batak bersama tuan Pilgram yang telah lama bertugas di Balige.
Tahun 1916 Nathanael anak Ingwer Ludwig Nommensen, mati tertembak di arena Perang Dunia I di Perancis.
Berlibur ke Eropa, kembali ke Tanah Batak bersama tuan Pilgram yang telah lama bertugas di Balige.
Tahun 1916 Nathanael anak Ingwer Ludwig Nommensen, mati tertembak di arena Perang Dunia I di Perancis.
Tahun 1918, Tanggal 23 Mei
Pukul enam pagi Hari Kamis, Ompu Ingwer Ludwig Nommensen pergi menghadap Tuhannya di Sorga. Dia menutup mata untuk selama-lamanya setelah berdoa ‘Tuhan kedalam tanganMu kuserahkan rohku, Amin’.
Pada Jumat sore, 24 Mei 1918
Ompu Ingwer Ludwig Nommensen dikubur di Sigumpar. Puluhan ribu datang melayatnya untuk mengucapkan salam perpisahan. Ada orang berkata : Inilah kumpulan manusia yang paling banyak yang pernah terjadi di Tanah Batak.
Ringkasan ini diambil dari buku:DR. I.L. Nommensen – Apostel di Tanah Batak oleh Patar M. Pasaribu
Saya kutip dua bagian berikut:
ReplyDeleteTahun 1866, 16 Maret
Ingwer Ludwig Nommensen diberkati menjadi suami-isteri dengan tunangannya Karoline di Sibolga. Karoline datang dari Jerman beserta rombongan Pdt. Johansen yang dikirim Kongsi Barmen untuk membantu Ingwer Ludwig Nommensen di Silindung.
Tahun 1864
Karoline melahirkan anak pertama diberi nama Benoni, namun beberapa hari kemudian meninggal dunia.
Pertanyaannya: apakah Karoline melahirkan dulu (1864) baru kemudian menikah (1866, 16 Maret) dengan Nommensen?