Tuesday, September 6, 2011

Mudik ke Medan Aug 2011

Mendarat di Bandara Polonia Medan 27 Aug 2011
Pesawat saya mendarat di Bandara Polonia Medan pukul 19:30 malam WIB.  Keluar dari ruangan kedatangan sudah ramai dengan para penjemput di depan pintu keluar. Suasana ruangan kedatangan untuk domestik sungguh menyedihkan, terlihat kumuh dan kotor. Meskipun mendarat malam hari, tapi udaranya cukup panas dan membuat tubuh saya gerah dan lengket. Penerbangan ini sungguh melelahkan buat saya. Ruangan saat klaim bagasi yg sangat sempit, membuat orang yg berkerumun menunggu bagasi keluar sangat ramai dan padat. Ditambah lagi para porter barang yg sibuk menawarkan jasanya, menambah sumuk dan menyebalkan. Troli barang yg seharusnya bisa diambil dengan mudah tapi karena para porter barang ini sudah mendominasi dan mengambil troli barang yg tersedia  sehingga saya tak bisa menemukan troli yg sedang ngangur. Sebel campur jengkel menyatu di benak saya, tapi tak kuasa menghadapi kebiasaan orang Medan yg serbasemrawut. Saya mencoba meredakan rasa kesal saya dengan bergumam dalam hati saya, nikmati saja keadaan yg ada. Jangan marah, jangan kesal dan jengkel, itu tak akan menyelesaikan masalah. Inilah salah satu seni memasuki kota Medan, bisik saya dalam hati sebagai penawar rasa galau dan jengkel saya.

Sambil menunggu bagasi keluar, terdengar suara handphone saya berbunyi, ada sms dari adik laki-laki  Evi, sahabat saya. Mereka sudah tiba di bandara dan sedang menunggu di dekat ATM BCA, sebelah kanan saat pintu keluar. Apa gerangan kenapa mereka menunggu saya, tak lain tak bukan karena Evi menitipkan mukena baru sebagai hadiah Lebaran buat saudara-saudaranya di Medan. Titipan Evi yg lumayan berat ini cukup menambah banyak daftar bawaan saya yg memang sudah banyak pula. Saya tak bisa menolak titipan ini karena ternyata Evi balik ke Medan pada tanggal 31 Agust 2011. Sementara saudara-saudaranya mungkin sudah membayangkan Sholat Ied dengan mukena baru. Saya menyetujui membawa mukena ini karena memang situasinya sudah mepet buat Evi untuk mengirimkannya via TIKI, khawatir tak sampai sesuai waktu yg diharapkan. Evi terpaksa menyogok saya 100ribu rupiah untuk membayar bagasi katanya. Padahal harga kelebihan beban bagasi saja saat ini 95ribu per kilo di AA. Alamak! Tapi sudahlah tak perlu dibahas begitu panjang, saya sudah ikhlas untuk membawanya. Semoga pula mukena baru ini membawa keberkahan buat saudaranya.



Setelah bagasi saya keluar, saya dan adik saya buru-buru keluar menuju ATM BCA. Dari jauh terlihat adik laki-laki Evi dan istrinya sudah melambaikan tangannya. Hebat sekali, walaupun lampu di sana sangat remang-remang kayak di diskotik saja, tapi mereka berdua segera mengenali saya. Dengan senyum sumringah mereka menyalami saya dan adik saya. Tak berpanjang-panjang, saya pun segera menyerahkan mukena titipan Evi tersebut ke saudaranya. Karena kasihan juga kalau mereka harus pulang kemalaman ke Padang Bulan. Malam itu mereka membawa putrinya yg masih balita dan terlihat senyum ceria. Adiknya mencoba menawarkan jasa tumpangan ke saya tapi karena malam ini kakak saya janji jemput saya di bandara, maka tawaran itu saya lewatkan saja. Kakak saya memang sudah dalam perjalanan menuju bandara Polonia.

Setelah adik Evi pulang, saya dan adik saya menuju kedai kopi yg ada di pojok, sekedar menghilangkan penat saya duduk di sana, sementara adik saya memesan segelas kopi panas. Saya kembali mengirimkan sms ke kakak saya, karena kelihatannya dia tak jua muncul di bandara. Saya menduga dia pasti sedang salah jalan lagi, karena memang dia jarang ke Medan. Jadi kalau sudah malam begini, dia pasti sedang meraba-raba cari jalan menuju bandara. Apa yg bisa kami lakukan ya harus bersabar menunggu dia sampai ke bandara. Setelah 15 menit menunggu, ada sms dari kakak saya menyuruh kami keluar saja menuju gerbang utama pintu keluar katanya. Dia malas masuk ke dalam karena katanya harus antri untuk masuk. Dengan koper dan ransel yg lumayan banyak, kami keluar. Kami pilih menunggu di salah satu pos polisi yg dipasang tenda sementara untuk pos polisi karena ada operasi ketupat Danau Toba. Saya sedikit bingung juga dengan namanya yg rada aneh operasi ketupat Danau Toba? Ini khan Medan bung! Sejak kapan Medan ganti nama jadi Danau Toba? Pengen tanya sama bapak polisi yg sedang bertugas, tapi nanti dikira saya sedang stress lagi bertanya hal-hal yg kurang penting. Akhirnya walaupun penasaran, saya pilih mengunci mulut saya. Sudahlah jangan cari masalah sama pak polisi pikir saya.

Setelah 5 menit menunggu kakak saya tak jua nongol. Kaki saya sudah pegal dan capek. Mata saya mencoba mengitari sekeliling, mencari mobil kakak saya, tapi tak ada juga. Tiba-tiba dari pagar besi dekat Dunkin Donat, ada suara kakak saya yg berteriak memanggil saya dan adik saya. Saya sampai geleng-geleng kepala, tadi saya disuruh keluar ke jalan besar, sekarang malah dia sedang masuk ke dalam bandara. Ampun dah. Pusing kepala saya. Mana sudah capek menyeret  koper dan ransel, ohlala malah orang yg ditunggu masuk ke dalam bandara. Pusing deh. Dia terlihat tertawa ngakak melihat kami berdua jengkel.  Dia balik menyuruh saya menunggu di pos polisi, nanti dia keluar menyusul ke sana katanya. Kami kembali bengong menunggu di sana. Tunggu punya tunggu nga nongol juga, saya mulai kesal. Kenapa lama banget ya cuma keluar doang. Ternyata pintu keluar mobil dari bandara itu tidak melewati tempat kami berdiri menunggu. Alamak jengkel nga sih? Dari jauh dia kembali memanggil saya, saya menoleh ke arah samping  ternyata mereka sudah keluar melalui pintu yg ada di sebelah kiri tempat kami berdiri menunggu. Cape deh. Dia terlihat merasa bersalah. Kami kembali menyeret koper kami dan berjalan menuju parkir mobil. Mobil sedan buatan Eropa  itu kini dipenuhi koper kami yg besar-besar. Alamak bagasi mobil tidak muat karena terlalu kecil banget. Hmmm nasib-nasib.Semua naik ke mobil.

Kini mobil sedan ini pun sesak dengan penumpang. Bayangkan mobil yg seharusnya  bisa dimuat 4 orang dewasa itu, sekarang berisi 6 orang. 2 ponakan saya masih kecil-kecil, satu masih remaja SMP dengan tubuh superlangsing, kakak saya, saya dan adik saya. Kalau melihat ukuran tubuh  kami semua yg superlangsing sich, tidak begitu masalah. Tapi kalau disuruh memilih sich, saya ingin duduk bebas dan lebar duduknya hehehe. Sayang saya tak bisa memilih. Jadi terima saja apa yg sudah disediakan hahaha. Tak boleh mengeluh. Haram hukumnya.

Setelah beres dengan urusan bagasi mobil yg sempit, mobil kami pun melaju membelah malam. AC di mobil kakak saya cukup dingin jadi saya nyaris tak merasakan lagi panasnya udara di kota Medan. Setelah mobil melaju, saya tanya kakak saya, mau menginap di mana malam ini?

”Belum tahu. Kata teman saya, bagus juga menginap di Mess Kristen Kemah Daud”
”Lokasinya dimana?”
”Kata teman saya di dekat Medan Plaza atau dekat jalan yg namanya dimulai dengan Sei
”Ada nomor telponnya tidak? ”
”Wah, lupa nanya waktu itu”
”Terus gimana caranya mencari wisma itu? ”
”Ah nga apa-apalah. Kita cari sendirilah. Paling juga dekat dari Medan Plaza. Di sana banyak juga hotel ”
”Koq kakak nga persiapkan dulu sih? Khan kita jadi repot cari-cari dulu. Mana udah malam pula. Duch gimana sih jadi ribet begini. ”
”Halah santai ajalah. Kalau nga ada hotel yah tidur di mobil ajalah”

Sikap kakak saya yg santai dan cuek banget membuat saya sedikit jengkel juga dalam hati. Gila malam-malam begini, harus putar-putar cari hotel apa nga kasihan sama anak-anaknya. Saya lupa bahwa sikap kakak saya ini memang sudah mendarahdaging buat dia. Dari dulu juga begitu. Saya saja yg lupa dengan kebiasaannya yg unik ini. Saya dulu sering mengeluh dengan sifatnya ini. Kakak saya sangat cuek dan spontanitas. Tidak terlalu suka dengan perencanaan yg serbamatang dan teratur. Saya yg koleris sempurna, suka yg serbateratur dan terencana jadi kadang-kadang jengkel dan kesal menghadapi sikapnya. Wajah saya langsung muram dan bibir saya manyun. Dia sebenarnya tahu kalau saya suka keteraturan. Makanya dia bilang saya cerewet dan suka panik. Entah kritiknya itu betul atau tidak saya kurang paham. Tapi fakta membuktikan kalau saya memang lebih well-prepared dalam segala hal. Kalau saya punya rencana berlibur sendiri, maka saya pasti mempersiapkannya nyaris sempurna. Saya pasti cek semuanya, mulai dari akomodasi,transportasi, budget dan detail rencana harian pun saya rancang sedemikian rupa. Malah pakai plan A dan B. Jadi sewaktu-waktu ada masalah saya masih punya plan cadangan. Saya ingin semuanya terencana dan budget pun tak meleset jauh dari yg saya perhitungkan. Beda dengan kakak saya yg serbaspontan. Dan sering kali budget meledak dari yg sudah direncanakan. Anehnya, walaupun dia sering bermasalah dalam hal budget, dia nga pernah kapok-kapoknya. Kali ini saya bener-bener kecolongan. Lalai mengantisipasi situasi ini. Sekarang nasi sudah jadi bubur. Saya harus belajar berdamai dengan situasi ini, kalau nga mau liburan ini akan jadi bencana buat kami semua. Saya mulai mengatur nafas saya dan mulai mengatur otak saya supaya tak terpancing jadi marah dan kesal. Oh no no no. No more drama.

Kami mencoba menuju Medan Baru. Di sana semua jalan dimulai dengan nama Sei. Sembari bertanya ke para pedagang kaki lima yg sedang berjualan malam itu. Tapi rata-rata tidak ada yg tahu nama wisma ini. Yah menurut saya sih, wajar juga mereka nga tahu, karena nama wisma ini pun kurang populer. Saya hanya bergumam dalam hati saja, coba sebelum berangkat saya mempersiapkan semuanya dengan baik. Jadi nga repot bin ribet begini. Saya masih saja mangkel dalam hati. Setelah beberapa jalan yg berawalan Sei kami masuki tapi tak jua menemukan nama wisma ini, maka mobil kami melaju menuju area Medan Plaza. Persis dekat Medan Plaza, kami menemukan sebuah bangunan ruko bertingkat yg bertuliskan pamplet ”Beatrix Apartment” penginapan keluarga dengan spanduk yg berwarna pink. Tanpa banyak cingcong, saya minta kakak saya untuk berhenti di sini. Tempat ini ternyata terbagi dua.menjadi Apartment dan Florist, dengan nama yg sama.

Saya turun dari mobil dan memasuki ruang resepsionis, disambut seorang resepsionis pria. Saya tanya ada kamar kosong tidak. Katanya ada. Saya minta Family Room. Saya segera minta resepsionis membawa saya ke kamar yg masih kosong, saya ingin cek kondisi kamar dan fasilitas yg tersedia di sana. Ternyata ruangan yg kosong ada di lantai 2 dan lantai 3. Sialnya tak ada tangga berjalan (eskalator). Alamak  kami akhirnya harus menaiki tangga yg cukup melelahkan kaki. Kamar di lantai 3 cukup luas dan rapi dengan fasilitas double bed, kamar mandi yg luas dan tersedia hot water. Saya coba cek hot waternya, semuanya masih baik. Tapi sayang lokasinya di lantai 3. Kami coba cek kamar di lantai 2, ruangannya sama luasnya tapi udara di dalam kamar sedikit pengap dan baunya kurang nyaman. Akhirnya saya putuskan mengambil kamar di lantai 3. Harga yg ditawarkan pun tidak terlalu mahal. Saya lapor ke kakak saya bahwa saya ambil Family Room di lantai 3. Dia ikut saja dengan keputusan saya. Lagian kasihan anak-anak sudah lapar banget. Anak-anak kami ajak naik ke lantai 3. Tas dan koper diangkat oleh petugas hotel. Walaupun penginapan ini tidak terlalu mewah tapi cukup untuk membuat hati saya lega. Ada yg sedikit mengkhawatirkan saya yaitu anak-anak senang banget turun naik tangga. Padahal tangganya lumayan tinggi juga.

Malam itu karena sudah capek, saya pesan makan malam kami dikirimkan ke kamar saja. Saya titip uang ke bapak satpam untuk membeli nasi bungkus di RM Garuda. Rumah makan ini salah satu yg paling terkenal di Medan. Makan malam yg lumayan nikmat. Setelah makan malam selesai,  kami pilih segera istirahat dan tidur saja. Waktu sudah menunjukkan pukul 23:00 malam WIB. Malam itu kami tertidur pulas sekali. Setidaknya hari itu saya masih bisa berdamai dengan keadaan. Tidak terpancing marah dengan kebiasaan kakak saya yg sangat bertolak belakang dengan gaya saya. Saya serbateratur. Kakak saya serbaspontanitas. Alamak cape deh! Saya koleris sejati. Kakak saya Sanguinis sejati. Sedap! 

nuchan@05092011
mudik yg berwarna

1 comment:

  1. mba .. kisaran harga apartemen beatrix nya berapa ya?? ada yang single room gak???

    ReplyDelete