Thursday, July 22, 2010

When Love is NOt EnOugH 1

Handphone-ku bergetar.
 Dengan enggan kubaca nama penelponnya. Private number..
 Setelah beberapa saat aku menimang-nimang, akhirnya kuputuskan untuk
 mengangkat telpon itu.
 "Hallo." sapaku.
 "Hallo Ca, ini Rosa."
 "Rosa?" ucapku agak terkejut.
 "Sudah terima undangannya?" tanya Rosa agak terburu-buru. Suasana hiruk
 pikuk di sekitarnya terdengar samar-samar.

 "Undangan?" Buru-buru aku berjalan ke arah meja ruang tamu, menahan rasa pusing yang langsung muncul ketika aku bangun dari tempat tidur,langsung mencari-cari undangan yang disebut oleh Rosa. Ternyata house-mateku menaruhnya di bawah tumpukan koran.


 "Iya, aku post beberapa hari yang lalu. Harusnya sudah sampai tadi
 pagi."
 "Oh, iya.. ada nih.. Undangan siapa sih ini?" kubuka undangan itu dan
 terkesiap melihat nama pengantin perempuannya. "Rosa! Kamu mau married?
 Kenapa nggak pernah cerita di email? Ngagetin banget.." aku masih belum
 pulih dari keterkejutanku. Kulihat nama pengantin prianya, memang pria
 yang Rosa pacari dua tahun terakhir ini.

 Rosa tertawa senang mendengar keterkejutanku. "Ca, itu undangan belum
 disebar loh.. Aku kasih kamu duluan sekalian bikin kejutan supaya kamu
 orang luar pertama yang tahu.." ucapnya senang.

 "Ya ampun Sa.. Kamu hampir bikin aku jantungan, tau nggak?" ucapku tanpa
 bisa menyembunyikan kesenangan yang juga aku rasakan saat itu.

 "Ca, aku lagi buru-buru nih.. Nanti aku kirim e-mail lagi yah.." Lalu
 Rosa mengakhiri percakapan singkat kami.

 Aku merebahkan diriku di atas sofa. Kupandangi lagi undangan yang masih
 kupegang. Rosa.. berapa umurnya sekarang? 23? Waktu memang cepat sekali
 berlalu.. Aku sendiri sudah 27 tahun.. Sudah bisa kutebak reaksi mama
 kalau tahu tentang hal ini nanti. Pernikahan Rosa memang alasan yang tepat
 untuk menyuruhku cepat-cepat cari pacar dan menikah. Aku tahu maksud baik
 mama..tapi entah mengapa hati ini masih tidak bisa untuk menerima cinta yang
 lain.Hati ini seolah-olah masih diikat olehnya, oleh pria yang selalu ada di
 setiap sudut benakku, yang berada nun jauh di sana.. Umurku kira-kira
 sama dengan Rosa waktu papa mama mengenalkanku dengannya. Aku sedang kuliah
 tahun terakhir saat itu. Ia sedang liburan di Jakarta, dan orang tuanya yang
 merupakan teman baik orang tuaku membawanya ke rumah kami. Aku masih
 ingat kesan pertama yang kudapat sewaktu melihatnya. Tampan namun angkuh.

Bianca, kenalan sini sama Jason." Aku baru saja pulang dari kampus waktu
 mama memanggilku. Aku duduk di sebelah mama dan mengulurkan tanganku
 kepada laki-laki yang dimaksud mama itu.

 "Bianca" ucapku singkat. "Jason" ia membalas uluran tanganku singkat
 lalu melepaskannya lagi. "Bianca, Jason ini lagi liburan dari Sydney. Kuliah
 kamu kan juga sebentar lagi libur, bisa kan kamu temenin Jason kalau dia mau
 jalan-jalan?" Aku menatap mama heran karena permintaan mama terdengar
 janggal sekali.

 "Ok" jawabku singkat, malas memperpanjang percakapan di depan orang yang
 tidak kukenal.
 "Jason, kamu catet donk nomor telponnya Bianca.." mama Jason tiba-tiba
 angkat bicara. Aku baru ingat bahwa aku belum berkenalan dengan dua
 orang lagi yang duduk di sebelah Jason. Buru-buru aku berdiri dan menyalami
 mereka. "Kayaknya kita yang tua-tua ngobrol di belakang aja yuk.." papa
 lalu membawa orang tua Jason ke taman belakang, meninggalkanku dan Jason
 berduaan. Sejujurnya aku merasa canggung sekali karena aku memang bukan orang yang mudah bergaul.
 "Bianca.." panggilannya membuatku sedikit terkejut. "Ya?" Ia lalu
 melambai-lambaikan handphone-nya. Nomormu?" tanyanya singkat seraya
 memberikan benda itu kepadaku. "Oh.." jawabku gugup. Kusimpan nomor
 handphone-ku di memori buku telponnya.

 "Kamu miss call ke handphone kamu aja supaya kamu juga punya nomorku"
 ucapnya sewaktu aku hendak mengembalikan handphone-nya. "Oh.." ucapku
 lagi.Aku benar-benar merasa bodoh sekali. Malu mungkin lebih tepat.

Lalu kudengar tawanya meledak. Aku menatapnya heran. "Untung mama kamu
 Dah bilang kalau kamu anaknya pendiam dan pemalu.." ucapnya sambil
 mengacak-acak rambutnya sendiri yang kecoklatan.

 Aku dapat merasakan pipiku memerah saat itu.
 Anaknya ternyata cukup menyenangkan, tidak angkuh seperti yang aku
 bayangkan. Kami ngobrol cukup lama. Walaupun aku agak kaku pada awalnya,
 ia berhasil membuat suasana lebih santai dengan cerita-cerita konyolnya.
Jason Tjiputra. Ia besar di Sydney dan jarang pulang ke Jakarta. Ia
 sudahmenyelesaikan kuliahnya dan sedang mencoba mencari pekerjaan. Papanya
 sebenarnya menginginkan ia membantu usaha keluarga mereka namun ia
 bersikeras ingin mencari pengalaman dulu di sana. Sementara ia menunggu
 lamarannya diterima, ia pulang kembali ke tanah air.

 Dimulai dengan telpon-telponan tiap malam dan sesekali pergi bersama
 keluarganya, kami mulai jadi dekat. Sekali waktu, Ia bahkan nekat
 menjemputku di kampus. Sesuatu yang membuat geger anak-anak di kampusku.
 Kejadian itu masih segar dalam ingatanku, karena pada hari yang sama
 itulah, sesuatu merubah hidupku. Ia bersandar ke mobil mewahnya dengan gayanya
 yang angkuh. Tangannya dimasukkan ke saku celananya dan dari balik kacamata
 hitamnya, matanya seperti sibuk mencari-cari sesuatu. Aku hampir tidak
 percaya ketika melihatnya di lapangan parkir kampus sore itu. Buru-buru
 akumenghampirinya.

 "Jason? Ngapain di sini?" sapaku sambil tertawa kecil, menyembunyikan
 rasa grogiku. "Ca, aku mau ajak kamu jalan." Ucapnya dengan senyum lebar
 tersungging di bibir merahnya. Aku terkesiap mendengarnya. Ini pertama
 kalinya dia mengajakku pergi berdua saja. Aku melirik ke mobilnya,
 mecari-cari supirnya. "Supirnya mana?" tanyaku polos.

 "Aku yang nyetir donk!" ucapnya bangga. "Hah? Nggak mau ah.. Kamu kan
 nggak bisa nyetir di sini.." sahutku
 pura-pura panik. "Jangan takut, aku dah latihan dari kemaren.." ia lalu
 berjalan melewatiku dan membukakan pintu mobil untukku. "Silahkan masuk,
 tuan putri." Aku bisa merasakan tatapan-tatapan yang tertuju padaku saat
 itu.

 Bagaimana tidak, sore itu lapangan parkir sedang ramai-ramainya dan
 tiba-tiba saja ia datang dengan semua keglamourannya. Ditambah lagi
 statuskuyang memang kurang mengenakkan di kampus ini. Merasa tidak enak, aku
 memilihuntuk buru-buru masuk ke mobil sebelum mereka menganggap aku sedang
 pamer cowok.

PART 4
"Kok diem aja Ca?" tanya Jason sedikit tidak enak. "Lain kali nggak usah
 jemput aku.." jawabku pelan. "Kenapa sih memangnya? Nggak enak ama
 anak-anakdi kampus? Biarin aja ah.." sahut Jason cuek. Ia sibuk mencari-cari lagu
 yang bagus dari CD changernya. "Nanti aku diomongin yang macem-macem.."
 "Diomongin apa sih?" tanyanya, kali ini agak lebih serius. "Yah.. apa
 kek gitu.. Kamu kan tahu bagaimana sikap mereka sama aku.. Mereka tuh nggak
 suka sama aku.." jawabku, agak sedikit sedih mengingat-ingat celaan apa saja
 yangpernah ditujukan kepadaku..
"Mereka cuma sirik sama kamu.. Udah pinter, kaya, cakep lagi.. Plus
 dijemput ama cowok keren begini.. Kayaknya emang mereka bakalan makin sebel sama kamu sih.." Tanpa kusadari, aku tersenyum sendiri mendengar ucapannya. Entah kenapa, Jason bisa membuatku merasa dihargai dan berarti meskipun ia tidak
 pernah mengatakannya secara langsung

PART 5
Jason adalah orang pertama yang bisa membuatku merasa bahagia seperti
 ini. Sejak kecil, sikapku yang tertutup dan pemalu membuat orang-orang
 berpikir bahwa aku ini sombong. Bahkan sebelum mengenalku pun, mereka sudah
 memasang tatapan tidak suka ketika melihatku. Penampilanku juga sebenarnyabiasa
 saja tapi selalu ada yang dikritik oleh mereka. Sok pamer lah, sok cakep lah,
 atau sok sopan. Seraya bertambah dewasa, orang-orang mulai selalumenguhubungkanku dengan orang tuaku yang terkenal. Nilai-nilaiku yangbagus
 karena hasil kepintaranku sendiri juga selalu diragukan. Sikap dosen
 yang menghormatiku dikatakan semata-mata hanya karena ingin menjilat.
 Aku tidak pernah benar-benar punya teman. Yang selalu menemaiku hanyalah
 gunjingan dari mereka yang tidak menyukaiku. Aku tidak pernah mengerti
 alasannya..

PART 6
Sore itu Jason mengajakku ke mall. Ia memintaku menemaninya berbelanja.
 "Ca, sini sebentar.." Jason masuk ke salah satu butik pakaian perempuan.
 "Ngapain sih? Kamu mau beli baju buat mama kamu juga?" aku hanya mengikutinya
 dari belakang. Ia lalu mengambil sebuah gaun malam, menyodorkannya kepadaku.
 "Cobain yang ini.."Aku menatapnya heran. "Udahh.. ayo cepetan.." ia
 mendorongku ke kamar ganti. "Jason, ini nggak cocok buat aku.."aku mengamati
 gaun biru muda dengan sulaman bunga bertebaran di bagian bawahnya.
 Memangmanis sekali.. Jason hanya memberiku isyarat untuk diam dan segera
 mencobagaun itu. Setengah hati, aku menurutinya.

 "Pas sekali.." ia berdecak kagum ketika melihatku mengenakan gaun itu.
 "Sayaambil yang itu ya.." ia lalu berkata kepada pramuniaga yang berdiri di
 sampingnya. Jason memaksa membelikanku gaun itu. Sebagai tanda terima
 kasihnya karena aku telah menemainya berbelanja sore itu. Alasan yang
 aneh menurutku.. Kami lalu makan malam di salah satu restoran dan
 berbincang-bincang sambil menunggu pesanan kami datang. Percapakan yang
 tidak pernah aku lupakan..

 "Kapan kamu balik ke Sydney?" tanyaku membuka percakapan kami. "Kenapa?
 Udah bosen nemenin aku ya?" "Eh.. bukan begitu lah.. Cuma mau tau aja.."
 Jason menyenderkan tubuhnya ke kursi dan menghela napasnya. "Sekitar satu atau
 dua minggu lagi..".
 "Oh.." hanya itu yang keluar dari mulutku.
 Ia lalu memajukan tubuhnya, mendekatkan dirinya. "Kalau aku pergi, kamu
 kesepian?" ia tersenyum nakal. Aku sungguh tidak bisa menjawab apa-apa. Bibirku seperti terkunci dan aku hanya bisa menunduk. Aku juga tidak mengerti mengapa aku jadi seperti itu.Sungguh memalukan.. "Ca, kamu suka cowok kayak apa sih?" tanyanya
 mengalihkan topik, namun pertanyaannya masih membuat jantungku berdetak
 kencang.

 "Aku? Uhmm.. Aku suka.." aku berpikir sebentar. "Aku suka cowok yang mau
 menantiku selama seribu tahun lamanya.." jawabku akhirnya dengan mantap.
 Ia menatapku heran. "Aku tidak pernah dengar jawaban seperti itu sebelumnya.."
 "Memangnya sudah berapa orang yang kamu tanya seperti itu?" tanyaku
 memberanikan diri. Ia tertawa ringan. Ia tidak menjawab apa-apa.

 "Kalau kamu? Kamu suka yang seperti apa?" tanyaku balik.
 "Aku?" ia diam sebentar. "Aku suka cewek yang bisa membuatku jatuh cinta
 padanya.." sambungnya.
 "Jawabanmu lebih aneh lagi.." aku tertawa kecil, merasa agak sedikit
 lepas dari kegugupanku.
 Jason mengangkat bahunya cuek. "Ca, kamu lebih cantik kalau kamu
 panjanginrambutmu.." ucapnya tiba-tiba.
 Kini aku yang terdiam. "Kenapa kamu belum punya pacar?" tanyanya kemudian. "Aku yakin banyakcowokngantri untuk jadi pacarmu.."
 "Aku belum menemukan yang pas.." jawabku diplomatis. "Pernah jatuh
 cinta?"tanyanya lagi, menyudutkanku. "Rahasia.." jawabku malu-malu,
 mengaduk-aduk minuman yang baru diantar. Walaupun kepalaku tertunduk, aku tahu iasedangmenatapku. Sejujurnya, saat itu aku sadar bahwa aku sudah mulai jatuh
 cinta kepadanya.. Jatuh cinta untuk pertama kalinya..


 Sesampainya di depan rumahku, aku sudah hendak membuka pintu mobil
 sewaktu ia menarik tanganku, mencegahku untuk keluar."Ada apa?" tanyaku
 antara bingung dan juga malu karena aku juga menikmati sentuhan
 tangannya. Ia menatapku sesaat.. beberapa detik yang terasa begitu lama untukku.
 "Nggak pa-pa.. Maaf.." ia melepaskan tanganku pelan. "Good night, sweet
 dream.." senyumnya.
 Aneh.. aku agak sedikit kecewa saat itu. Aku hanya bisa membalas
 senyumannya dan beranjak keluar. Lalu aku melihat mobil ayah Jason
 diparkir di dalam garasi rumahku.
 "Jas, itu bukannya mobil papamu?" tanyaku agak sedikit terkejut. Jason
 menatap ke arah yang kutunjuk dan ternyata ia juga sama herannya dengan
 aku. 'Kamu turun aja dulu.."akhirnya kuberanikan diriku.
 Jason hanya mengangguk-angguk dan mematikan mesin mobilnya.

 PART 8
Waktu kami masuk, ternyata orang tua Jason memang sedang bertamu ke
 rumahku.Aku langsung duduk di sebelah papa sementara Jason duduk sendiri
 terpisah. "Abis ke mana aja kalian?" tanya mama lembut. "Tadi Bianca nemenin Jason
 belanja doank kok ma.." jawabku sambil mencuri pandang ke arah Jason.
 Ternyata ia sedang menatapku juga.

 Buru-buru aku mengalihkan pandanganku.
 "Papa mama kok bisa kebetulan di sini juga?" kudengar Jason angkat
 bicara."Kami memang mau ngomong sama kalian berdua.." jawab ayahnya dengan
 suara agak berat. Jarang sekali aku mendengarnya berbicara. Kulihat ia melirik
 ke arah istrinya, seolah meminta istri melanjutkan kata-katanya.

 "Begini Jason.. kami lihat kalian berdua sangat cocok sekali.."
 Jantungkuberdegup menunggu kata-katanya selanjutnya. Lagi-lagi aku tundukkan
 wajahku. "Jadi kami berpikir mungkin akan sangat baik kalau kalian dijodohkan..
 Setidaknya bertunangan dulu sebelum kamu kembali ke Sydney.. Mama dan
 papa sudah kenal dekat dengan orang tua Bianca. Kamu juga sudah cukup umur
 untukmemulai hubungan yang serius.."

 Aku merasa ini seperti mimpi, atau seperti kisah dalam novel.. Aku baru
 saja jatuh cinta, untuk yang pertama kalinya.. dan langsung dijodohkan..
 Segalanya yang kudengar seperti tidak nyata. Sekuat tenaga kutahan
 dirikuuntuk tidak bersorak kegirangan. Lalu aku memberanikan diri menatap ke
 arahJason.

 Tidak seperti yang kuduga, kulihat raut wajahnya berubah. Tidak ada
 tanda-tanda kebahagiaan di sana.. Wajah itu menjadi keras dan angkuh,
 tepatseperti waktu aku pertama kali melihatnya. Hatiku seperti ditusuk
 melihatreaksinya..

 Jason lalu berdiri dari duduknya. "Aku minta waktu untuk berpikir.." ia
 pun
 beranjak pergi begitu saja. Menoleh ke arahku pun tidak. Duniaku serasa
 gelap saat itu. Aku tidak mau tahu apa yang terjadi. Yang kuingat, aku
 berlari ke kemarku dan mengunci diriku di sana. Semalaman itu aku
 menangis
 sendiri.. Ternyata Jason sama dengan yang lainnya..

 PART 9
 Sudah tiga hari Jason tidak menghubungiku semenjak kejadian itu. Aku
 juga tidak pernah mencoba menghubunginya ataupun menanyakan tentangnya
 kepada orang tuaku. Mereka sendiri tampaknya juga kecewa dengan sikap
 Jason
 malam itu. Sejujurnya, aku sudah merasa malu dan putus asa.. Aku
 berpikir ia
 mempunyai perasaan yang sama.. Kalau tidak, mengapa ia begitu baik
 padaku?
 Mengapa ia selalu memberi perhatian lebih padaku? Ah.. pertanyaan yang
 tidak
 ada ujungnya.. Lebih baik kupendam semuanya sendiri, bersama dengan air
 mata
 yang hampir kering ini..

Part 10
 Aku hampir tidak percaya ketika melihat nama Jason tertera di layar
 handphone-ku sore itu.. Aku ingin sekali menjawab telpon itu tapi ada
 sesuatu dalam diriku yang mencegahnya. Kebimbangan terus berkecamuk
 dalam hatiku sampai akhirnya telpon itu terputus. Kumaki diriku sendiri dan
 kusesali diriku karena tidak mengangkat telpon darinya.

 Kupandangi layar handphoneku terus menerus, berharap ia akan menelponku
 lagi. Ternyata harapanku membuahkan hasil. Tidak lama ia menelponku
 lagi.Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengangkatnya.

 "Hallo.." ucapku pelan dan agak berhati-hati.
 "Ca, pakai gaun biru yang kita beli sama-sama untuk Sabtu depan.."
 "Apa??" tanyaku kebingungan, kaget dengan ucapan Jason yang tanpa
 basa-basi itu. Kupikir ia akan meminta maaf tentang kejadian waktu itu.

 "Sabtu depan kita tunangan.." kebingunganku sirna, diganti oleh rasa
 terkejut dan sedikit khawatir.
 "Jas.. kayaknya kita perlu bicara lagi.. Kamu harus jelasin kenapa.."

 "Aku mencintaimu." potongnya cepat sebelum aku menyelesaikan kalimatku.
 Aku terdiam sesaat. Setelah itu, hanya isakan tangisku yang terdengar.
 Ia juga diam seribu bahasa. Bibir kami sama-sama terkunci saat itu.. Tidak
 lama ia datang ke rumahku.

 Sewaktu aku turun dari kamar, kulihat ia sedang duduk di ruang tamu
 menantiku. Aku menatapnya dari belakang. Rasanya aku bisa mendengar
 detak jantungku sendiri saat itu. Pelan-pelan kuhampiri dia dan duduk di
 hadapannya dengan tatapan yang menghindar darinya.

 Di luar dugaanku, ia menghampiriku, bersujud di dekat kakiku dan meraih
 tanganku.
 "Sudikah kau bertunangan denganku, Bianca Fransesca Prananto?" ia
 mengecup tanganku lembut lalu menyelipkan sebuah cincin ke dalam genggaman
 tanganku.

 Aku bisa merasakan air mataku kembali menetes dari mataku yang sembab.
 Tapi kini seuntai senyuman menghiasi wajahku. Ia lalu bangkit dan memelukku.

 "Maaf.." kudengar ia berbisik pelan

 Suasana sore itu begitu tenang dan damai. Aku dan Jason baru saja pulang
 dari mengurus beberapa keperluan untuk pesta pertunangan kami.
 Sebenarnya  mama Jason sudah mengurus semuanya, lagipula tidak terlalu banyak yang
 diurus mengingat pesta ini hanya dihadiri oleh keluarga dan teman dekat saja. Namun Jason bersikeras ingin ikut campur dalam segala persiapannya.
 Hari ini sudah hari Senin. Lima hari lagi adalah hari pertunangan kami.
 Terus terang, aku merasa ini semua berlangsung terlalu cepat.

 "Kok ngelamun, Ca?" Jason menyentuh tanganku lembut sambil masih
 berkonsentrasi menyetir.
 Aku mengalihkan pandanganku yang sedari tadi memandang ke luar jendela.
 "Aku cuma merasa ini tidak nyata.. Semuanya terlalu cepat.. Maksudku,
 kita baru berkenalan belum sampai dua bulan tapi kita sudah akan bertunangan
 lima hari lagi.."

 "Kita kan hanya bertunangan, belum menikah.. Pertunangan ini kan hanya
 sebagai tanda ikatan antara kita berdua mengingat aku harus kembali ke
 Sydney minggu depan.. Kita masih punya banyak waktu untuk saling
 mengenal..
 Kita tokh tidak perlu buru-buru menikah kan? Atau jangan-jangan kamu dah
 nggak sabar ya?" pertanyaannya membuat pipiku bersemu merah. Aku kembali
 mengalihkan pandanganku ke luar jendela.

 "Jas, kamu belum menjawab pertanyaanku dulu.." ucapku memberanikan diri.
 "Pertanyaan yang mana, Ca?"
 "Kenapa malam itu reaksimu seperti itu?" aku kembali mengungkit
 persoalan malam ketika ia secara tidak langsung menolak perjodohan kami. Ia selalu
 menghindar setiap kali aku mencoba menanyakannya. Jason menghela napasnya,
 seolah merasa bosan dengan pertanyaanku. "Apa itu masih penting sekarang?"

 "Masih.. Karena aku ingin tahu apa yang membuatmu ragu?" paksaku.
 "Hmm.. entah lah.. Life is complicated.." jawabannya masih penuh
 teka-teki. "Sudah lah.. Aku mohon, jangan bahas ini lagi.."

 Aku tidak mengucapkan apa-apa lagi. Tampaknya percuma saja..Lagipula
 memang tidak ada gunanya aku tahu, hal itu tidak akan mengubah apapun. Jadi,
 kukesampingkan egoku dan membuang keingintahuan itu..

 "Besok kita jemput Rosa, kamu nggak lupa kan?" Aku hanya mengangguk.

 PART 12

 Rosa adalah adik Jason yang juga tinggal di Sydney. Aku hanya pernah
 melihat fotonya di foto keluarga yang dipajang di rumah mereka. Rosa adalah
 satu-satunya saudara yang dimiliki Jason. Setidaknya itu masih lebih
 baik dariku yang hanya sendirian. Sejujurnya, aku sangat mengharapkan memliki
 seorang saudara perempuan dan aku berharap Rosa bisa menerimaku.

 Ketika bertemu dengan Rosa di airport, ia ternyata jauh lebih cantik
 dari yang di foto. Tepat seperti yang kubayangkan, anaknya lincah dan
 enerjik,membuat suasana di sekitarnya selalu meriah. Sebentar saja aku sudah
 akrab dengan Rosa. Banyak kecocokan di antara kami walaupun dia lebih kecil
 sekitar empat tahun dariku.

 "Wahhh. kalian deg-degan nggak nih besok sudah mau tunangan?" goda Rosa
 saat kami makan malam bertiga. Sebenarnya Rosa ingin aku melewatkan malam
 tersebut hanya berduaan dengan kakaknya namun aku yang memaksanya untuk
 ikut.

 "Bukan deg-degan tapi sedih, Sa.." jawabku."Sedih?" tanya Jason kaget,
 membuatku dan Rosa tersenyum geli.
 "Gimana nggak sedih? Mana ada orang yang baru tunangan dua hari langsung
 ditinggal?" sahut Rosa seperti bisa membaca pikiranku.

 "Ohh.. aku ke Sydney kan bukan buat selamanya.."
 "Kenapa sih kamu nggak batalin tawaran kerja di Sydney dan kerja sama
 papa aja?" aku agak sedikit terkejut dengan pertanyaan Rosa yang agak
 blak-blakan walaupun pertanyaan itu pernah juga terlintas dalam pikiranku.

 Jason terdiam sebentar. "Aku kan sudah pernah bilang alasannya.."
 "Tapi itu sebelum kamu bertemu dengan Bianca kan?"
 "Prinsipku tidak bisa diubah.." dari nada bicaranya tersirat Jason tidak
 ingin melanjutkan percakapan itu.
 Rosa menghela napasnya dan menatapku. "Ca, kamu harus awasin bener-bener
 kakakku ini.. Hati-hati, cewek yang ngejar dia ada segudang.." candanya.

 "Harusnya aku yang minta tolong kamu, Sa.. Kan kamu yang bisa ngawasin
 dia nanti.." balasku sambil tertawa kecil.
 Rosa lalu melirik ke arah Jason. "I'll try my best.. We'll see.."
 Entah mengapa aku merasa ada yang ganjil dengan ucapan Rosa tapi aku
 tidak terlalu memperhatikannya. Pikiranku sendiri berkecamuk dengan
 pertunanganku besok.

 "Ca.." Jason membuyarkan lamunanku. "Mikirin besok yah?" sambungnya
 lembut. Aku mengangguk. Rosa memegang tanganku dan menggenggamnya erat.
 "Everything will be fine.. Relax.."
 Jason mengangguk setuju dengan perkataan adiknya.
 Lalu tiba-tiba kulihat Jason memberikan isyarat kepada seseorang,
 menyuruhnya untuk datang ke meja kami. Aku berpaling melihat siapa orang
 tersebut.

 Ternyata seorang pemain biola. Ia menghampiri kami dan mulai memainkan
 sebuah lagu. Lagu yang sangat indah, sebuah lagu klasik yang begitu
 akrab di telingaku, Moonlight Sonata.. Jason tahu aku suka memainkan lagu itu
 dengan piano kesayanganku..Wajahku langsung bersemu merah, benar-benar kikuk
 rasanya berada dalam keadaan seperti itu. Aku mencari-cari Rosa, berupaya
 untuk tidak menatap Jason.. Namun tampaknya Rosa sengaja menghilang saat
 itu, membiarkan diriku hanya berduaan dengan Jason.

 Aku melihat orang-orang di sekeliling restoran itu menatap ke arahku
 sambil tersenyum. Aku menunduk lagi sebelum akhirnya memutuskan untuk menoleh
 ke arah Jason.

 Ia memang sedang menungguku menatapnya. Ia tersenyum simpul, sedikit
 terlihat menahan tawa melihat sikapku yang malu-malu itu.. Ia lalu
 mengulurkan tangannya, mengajakku berdansa. Aku menatapnya terkejut. Aku
 ingin menolak namun aku tahu berpasang-pasang mata sedang memperhatikan
 kami saat itu. Akhirnya aku sambut uluran tangannya dan kami beranjak ke
 lantai dansa.

 Musik masih terus mengalun, samar-samar menutupi bunyi detak jantungku.
 Ia mendekap tubuhku erat, tubuh kamipun bersatu, bergerak perlahan..
 terbawa suasana.. Beberapa pasangan juga mulai turun dan mulai berdansa. Aku
 tersenyum, merasa agak sedikit rileks. Aku menopangkan daguku di
 bahunya. Kudengar ia berbisik pelan, "Terima kasih.." lalu ia mencium telingaku
 lembut. Hanya dua kata yang singkat namun membuatku merasa begitu
 dihargai, begitu dipuja.. dan di atas segalanya, begitu dicintai..

 Aku merenggangkan pelukanku. Kuberanikan diriku untuk menatapnya. Lalu
 kaki kami sama-sama terhenti. Kami berdua berdiri mematung di tengah-tengah
 pasangan-pasangan lain yang sedang berdansa. Kami berdua bertatapan
 cukup lama saat itu. Melihat tatapan matanya yang begitu dalam dan hangat, aku
 yakin aku adalah gadis yang paling beruntung di dunia ini. Aku percaya, keputusanku untuk menerima pertunangan ini tak akan pernah kusesali.

PART 13
 Pesta pertunangan kami berjalan dengan lancar. Sejujurnya, tidak ada
 yang
 terlalu istimewa di hari itu kecuali perasaanku. Bahagia dan terharu
 mungkin
 tidak cukup untuk mendeskripsikannya.

 Jason selalu berada di sampingku sepanjang acara itu. Ia senantiasa
 menggenggam erat tanganku atau sesekali merangkul pinggangku. Kudengar
 tamu-tamu memuji kami sebagai pasangan yang sempurna. Jason juga terus
 menerus memujiku yang terlihat agak berbeda malam itu. Sedih rasanya
 waktu
 pesta itu berakhir dan membayangkan Jason akan segera meninggalkanku.
 Namun
 cincin yang kini terselip di jari manisku mampu membuat hatiku agak
 lebih
 cerah.

 Malam itu, Jason mencium bibirkuku untuk yang pertama kalinya.. Ciuman
 yanglembut.. Tepat seperti yang aku impikan, ciuman pertama yang membuatku
 menangis sebaliknya dari tersenyum.. Jason memang memenuhi semua
 anganku..Ia terlalu sempurna sehingga aku merasa semua ini hanya mimpi. Ketika
 Jasonharus pergi dari sisiku, aku melepas kepergiannya dengan tabah. Aku tahu
 tangisanku tidak akan merubah keputusannya. Sebaliknya, aku tersenyum
 karenaaku tahu ia akan kembali ke sisiku.

Mungkin perpisahan sementara ini adalah yang terbaik bagi kami berdua.
 Mungkin dengan begitu, cinta yang murni bisa berkembang di antara kami.
 Apabila kami bisa melewati semua ini, maka tidak ada lagi yang bisa
 memisahkan kami nantinya.

 "Aku nggak nyangka kamu tidak nangis.." Jason tersenyum meledekku. Ia
 sudah
 hendak check in namun ia minta waktu untuk bicara berdua saja denganku.

 "Aku menangis di sini.." aku menunjuk hatiku. Kurasakan suaraku bergetar
 saat mengucapkannya.
 Jason menarik tubuhku mendekat kepadanya. Ia lalu sedikit membungkuk dan
 menempelkan keningnya di keningku. Matanya menatapku begitu dalam seolah
 ingin melihat apa yang ada di balik bola mataku.

 "Terima kasih.. Seandainya kamu menangis, hatiku juga jadi susah.." Ia
 lalumengecup keningku. "Aku pasti kembali lagi.. Jaga cinta kita.." Dan ia
 memelukku begitu erat.

 Kugigit bibirku kuat-kuat untuk menahan air mata yang sudah di pelupuk
 mataku. "Sudah.. ayo check in sana.. Rosa udah nungguin.. Nanti langsung telpon
 akuyah.." kulepas pelukannya dan kucoba mengucapkan kata perpisahan dengan
 nada ceria..

 Ia tersenyum dan mengangguk pasti. Ia lalu berjalan ke arah Rosa dan
 merekaberdua melambaikan tangan padaku.
 Ketika mereka berdua berlalu dari pandanganku, air mataku tumpah..

 PART 14
 Aku dan Rosa juga masih terus berhubungan. Sadar atau tidak, kami sudah
 jadisahabat baik. Anehnya, kami tidak terlalu banyak membicarakan Jason.
 Baik aku maupun dia sama-sama tidak pernah menyinggungnya. Aku merasa agak
 sungkan, lagipula aku tidak mau Jason berpikir bahwa aku kurang
 mempercayainya. Kuliahku berjalan dengan lancar. Aku tidak terlalu
 merasatertekan. Entah mengapa, keberadaan Jason menambah kepercayaan diriku.
 Aku jadi tidak terlalu minder dan berprasangka buruk terhadap orang-orang di
 sekitarku. Sungguh, aku banyak berubah. Aku lebih berani mencekati orang
 dan ternyata, tidak semuanya berpandangan negatif tentangku.. Kupikir, dulu
 aku hidup dalam ketakutanku sendiri.. Aku yang tidak bisa menerima diriku,
 bukanmereka.. Kini di kampus aku punya cukup banyak teman. Aku sangat
 menyayangkan karena diriku berubah di saat-saat terakhir kuliahku. Aku
 jaditidak pernah benar-benar menikmati masa kuliah. Kadang-kadang Jason
 kesalkarena semenjak diriku mulai lebih terbuka, sudah ada beberapa teman
 laki-lakiku yang mencoba mendekatiku. Kalau sudah begitu, katanya aku
 lebihbaik jadi pendiam dan tertutup seperti dulu. Namun aku tahu ia tidak
 pernahserius dengan ucapannya..

 Jason juga cukup puas dengan pekerjaanya. Ia sudah beberapa kali dapat
 pujian dari atasannya dan menurutnya, sebentar lagi ia bisa naik
 jabatan.Kalau sudah mendengarnya bercerita begitu seru, aku jadi takut sendiri
 kalau-kalau ia tidak akan kembali. Di sisi lain, aku bangga karena
 tunanganku bukan laki-laki yang hanya bisa mengandalkan orang tua.

 Seperti yang sudah dibilang Rosa dulu, banyak sekali gadis yang ngantri
 untuk mendapatkan Jason. Bukannya cemburu, aku malah jadi geli sendiri
 mendengar cerita-cerita lucu tentang gadis-gadis itu. Mulai dari yang
 mengiriminya foto sampai yang mengirimkannya lagu lewat radio tiap
 weekend.

 Hubungan kami berjalan begitu lancar.. begitu sempurna.. Hingga tidak
 terasa aku sudah menyelesaikan kuliahku.

PART 15
 Semenjak kuliahku selesai, aku tidak melakukan banyak hal selain
 membantupapa sedikit-sedikit di perusahaannya.
 Sebenarnya Jason akan pulang saat wisudaku nanti, ia sudah berjanji..
 namun aku sudah tidak sabar ingin bertemu dengannya karena wisudaku masih dua
 bulan lagi. Saat kau merindukan seseorang, dua bulan bisa jadi seperti
 penantian tanpa batas. Maka kuberanikan diriku untuk meminta ijin keSydney.

 "Sudah tidak sabar mau ketemu calon suami yah?" ledek papa waktu aku
 mengutarakan niatku.
 "Ah papa.. kayak nggak pernah pacaran aja.." ucapku manja.
 "Papa nggak ada alasan melarangmu. Kamu pesan saja tiketnya.."
 "Beneran pa?" ucapku girang.
 "Kalau perlu pesan saja untuk dua bulan jadi kamu balik ke Jakarta-nya
 sama-sama dia." tambah mama lagi.
 "Aduh, mama memang mama paling baik sedunia.." aku memeluk mama
 erat-erat. "Oh ya, aku mau bkin surprise loh buat Jason dan Rosa jadi mama papa
 jangan sampe keceplosan yah.." tambahku lagi.
 Papa dan mama hanya tertawa melihat sikapku yang kekanak-kanakan itu..
 Kupandangi refleksi wajahku di cermin. Aku tersenyum puas melihat
 penampilanku. Kusisir rambutku yang sudah tumbuh panjang sekarang. Aku
 teringat Jason pernah bilang bahwa aku lebih cantik bila rambutku
 panjang.
 Mungkin itulah alasannya mengapa aku tidak pernah memotong rambutku
 semenjak aku mendengar kata-katanya itu. Aku tersenyum membayangkan dirinya
 melihatkusekarang. Aku tersenyum membayangkan perjumpaan kami sebentar lagi,
 melihatekspresi terkejut di wajah tampannya.. Kubayangkan juga hari-hari yang
 akan aku lewati dengannya, menyusuri tempat-tempat indah yang selama ini
 selalu ia ceritakan padaku.. Kurapihkan diriku lagi sebelum keluar dari kamar
 kecil itu. Kulangkahkan kakiku dengan mantap.

 "Sydney, say hi to me.." pekikku girang dalam hati. Aku memandang
 bangunan tinggi yang menjulang dihadapanku. Taksi yang mengantarku sudah berlalu
 daritadi. Kulihat lagi kertas bertuliskan alamat apartment Jason dan Rosa.
 Memang benar ini yang aku cari. Ketika aku sudah hendak menekan interkom
 apartment mereka, kulihat sepasang suami istri berjalan keluar dari
 pintu utama. Lalu ide iseng muncul di benakku. Sebelum pintu itu tertutup, aku
 buru-buru menyelinap masuk..

 "Kalau aku langsung muncul di depan pintunya tentu lebih mengejutkan
 lagi.."pikirku nakal. Kutekan tombol lift yang sesaat kemudian mengantarku ke
 lantai teratas dari bangunan tersebut.

 Sewaktu aku mengetuk pintu itu, aku merasa jantungku yang justru
 terketuk. Lama tak terdengar jawaban. "Mungkin mereka masih tidur.." aku melirik
 jam tanganku yang menunjukkan jam sembilan pagi lewat sedikit.

 Hari ini hari minggu jadi wajar saja kalau mereka bangun agak siang.
 Kucobalagi mengetuk pintu itu, agak lebih keras kali ini.. Tak lama, Rosa
 membukapintu itu, masih dengan pakaian tidur dan rambut yang agak berantakan.
 Matanya terbelalak ketika melihatku

 PART 17
 "Bianca!!" teriaknya tertahan. Aku tersenyum dan langsung memeluknya.
 Lalu kulihat Jason muncul, hanya mengenakan celana boxer pendek. Aku
 tersenyum dan hampir memanggilnya ketika aku sadar ia sedang merangkul
 seorang perempuan yang tidak pernah aku kenal. Perempuan itu juga hanya
mengenakan pakaian tidur seadanya. Jason masih mengucek-ucek matanya.
 "Siapa Sa? Kok bisa masuk sini?" tanyanya pada Rosa. Sementara yang ditanya tidak berani menoleh ke belakang. Tersentak, kulepaskan pelukanku. Jason juga rupanya segera menyadari
 kehadiranku di situ dan buru-buru melepaskan rangkulannya. Terlambat..
aku sudah melihatnya.. Belum sempat seseorang mengucapkan sepatah katapun,
 aku langsungberbalik dan berlari pergi, menekan-nekan tombol lift dengan tidak
 sabar."Bianca! Tunggu!" kudengar Jason berlari dan mengejarku. Ia lalu
 mencengkeram lenganku keras, membuatku tak mampu berontak. Aku berbalik
 menatapnya namun pandanganku kabur, tertutup oleh air mata yang sudah
 siap mengalir. Ia tidak mengucapkan apa-apa. Ia menarikku ke pelukannya
 denganpaksa.

 Aku hanya bisa menangis seraya sesekali memukul bahunya yang bidang itu.
 Perempuan itu beranjak mendekati kami. Ia berdiri di belakangku, tepat
 berhadapan dengan Jason.

 "Ini pacarmu?" tanyanya sinis.
 "Bukan." Jason menjawab mantap.
 "Ia tunanganku.." Sambungnya seraya mempererat pelukannya seolah ingin
 melindungiku. Tangisku makin menjadi mendengar jawaban Jason itu.

 Perempuan itu mendegus marah. "Kalau begitu, kau dalam masalah besar
 sekarang.. Bagus, kau rasakanlah akibat dari perbuatanmu sendiri!"
 bentaknya setengah berteriak.

 Lalu aku mendengar suara tamparan. Aku menolehkan wajahku dan melihat
 Jasonsedang memegang sebelah pipinya. "Tamparan itu untukku. Dan ini untuk
 tunanganmu." Ia lalu menampar Jason lagi.

 Kulihat mata perempuan itu menyala oleh api amarah namun aku tahu ia
 jugatengah menahan air mata yang sudah mulai membahasi matanya. Aku tahu, ia
 sama sedihnya denganku. Hanya saja, ia sedikit lebih kuat dariku..

 Perempuan itu lalu mengalihkan pandangannya kepadaku. "Kurasa kau pun
 tahu,jahanam ini tidak pantas untukmu.." ucapnya sebelum berlalu.

 Kulihat ia masuk ke dalam lift yang sudah terbuka sambil menenteng
 pakaiandan tasnya. Ia sama sekali tidak menoleh lagi ke arah kami..

 PART 18
 Mataku menerawang kosong. Aku sudah lelah menangis. Rosa sedari tadi
 merangkulku. Jason juga hanya duduk memandangku. Belum ada di antara
 kamiyang bicara semenjak Rosa mengajakku masuk ke apartment mereka untuk
 menenangkan diriku. Mereka berdua seolah menungguku untuk bicara
 terlebihdahulu.

 Aku bangkit dari dudukku. "Aku mau pulang." Ucapku mantap. Sebelum ada
 di antara mereka yang mencegahku, aku menoleh ke arah Rosa, "Kamu mau antar
 aku ke airport kan?"

 Rosa menoleh ke arahku dan kakaknya bergantian. "Kalau kamu tidak mau,
 akubisa pergi sendiri." Ucapku akhirnya sambil mengangkat barang-barangku.

 "Tunggu." Kudengar akhirnya Jason bersuara. Entah mengapa, air mata ini
 ingin mengalir lagi ketika mendengar suaranya. Aku tidak menoleh. Ia
 berjalan menghampiriku dan menyentuh tanganku lembut. "Jangan pergi
 dulu.Kita harus bicara."

 Aku menoleh, menatapnya tajam dan kusentakkan lenganku. "Tidak ada yang
 perlu dibicarakan lagi, Jason."
 Akupun membuka pintu apartment itu dan melangkah pergi.
 Rosa buru-buru mengambil kunci mobilnya. "Ca, aku antar kamu.." ia
 membantuku membawa tasku dan berjalan bersamaku, meninggalkan Jason
 sendirian.

 Ketika pintu lift itu terbuka, kudengar Jason memanggilku sekali lagi.
 Aku masih tetap tidak menoleh. Aku tetap melangkah masuk ke dalam lift itu.

 "Bianca, aku akan menunggumu.. walaupun harus seribu tahun.." kudengar
 suaranya bergetar saat mengucapkannya.
 Aku tak menjawab. Pintu lift itu tertutup dan barulah aku mulai menangis
 lagi.. Rosa terus memelukku..
 Hening.. itulah yang aku butuhkan..

To be continue

No comments:

Post a Comment