Tuesday, October 25, 2011

Piltranco (airport bus) in DMIA Manila-Philippines


Saya tak pernah tahu bahwa wajah orang Philippines itu mirip banget dengan wajah orang Indonesia. Saya baru sadar bahwa wajah dan bentuk tubuh orang Philippines itu sangat mirip dengan orang Indonesia ketika saya mengunjungi Manila Oct 2011. Ketika saya mendarat di Diosdado Macapagal International Airport (DMIA),turun dari pesawat memasuki ruang imigrasi, saya lihat wajah petugas imigrasinya mirip wajah-wajah petugas imigrasi di Cengkareng - Jakarta. Ohlala, saya merasa kayak di Indonesia aja, nga merasa sedang di luar negeri. Ampun dah. DMIA ini untuk ukuran international, saya pikir sangat sederhana sekali yah. Nga ada-ada tanda-tanda standar international sama sekali, saya malah nga ketemu duty free. 


Walaupun wajah mereka kayak orang Indonesia tapi bahasa Tagalog yg mereka pakai tetap membuat saya sedikit sadar bahwa ini bukan Indonesia. Antrian imigrasi saat itu lumayan panjang banget. Saya ikutan antri sambil berpikir terus, bisa sukses nga sampai hostel dengan selamat tanpa nyasar sama sekali. Ini pertama kalinya saya memasuki kota Manila dan tak punya informasi yg cukup tentang negeri ini. Maklum, liburan kali ini saya malas browsing2 internet. Malah terlihat keberangkatan saya ini agak ogah-ogahan sich. Kalau nga  ingat udah beli tiket dan segala tetek-bengek lainnya mungkin udah saya batalin kali liburan ini. Lagi malas berat.

Keluar dari antrian imigrasi saya segera menuju pintu keluar. Ternyata diluar sedang hujan. Alamak, di Manila ternyata cuaca masih cocok dengan musim yg umum berlaku di Asia yaitu Oct –Desember itu memang kategori musim hujan. Tapi seperti biasa, hujan kali ini membuat suasana hati saya kelabu. Berangkat dari rumah disambut hujan, tiba di Manila juga dihadiahi hujan. Bener-bener deh, hati saya menjadi biru.

Di pintu luar saya melihat petugas yg menawarkan bis bandara yg menuju jantung kota Manila. Saya baca di internet, ada bis bandara yg bernama PILTRANCO. Saya kaget juga waktu baca di internet dari DMIA ke SM Mall Manila saja bisa 2.5 – 3 jam lamanya, karena begitu memasuki kota Manila maka akan disambut macet yg tak kalah parah dengan Jakarta. Yah iyahlah secara sama-sama negara berkembang. Anehnya lagi AA ini kog memilih DMIA sebagai lokasi landing. Bener-bener nga masuk diakal. Menyusahkan penumpang.Susahnya kalau mau menuju jantung kota Manila. Ongkos bis bandara saja dari DMIA ke SM Mall bisa kena PHP400, setara dengan 80-90ribu rupiah. Bego banget. Memang betul,meskipun jauh tapi bis PILTRANCO ini punya jadwal regular yg lumayan ontime. Tapi tetap saja menjengkelkan buat saya. (Lain kali kalau beli tiket AA, mesti dipastikan dulu seberapa jauh bandara tempat mendarat dengan jantung kota negara yg dituju, daripada ribet kayak pengalaman saya )

Saya segera membeli tiket bis ke SM Mall seharga PHP400, dan dikasih kursi No.21 Begitu duduk, saya langsung ditegur seorang ibu dengan bahasa Tagalog. Dengan wajah bingung saya bilang bahwa saya tak bisa bahasa Tagalog.Lalu mereka mencoba menebak saya dari mana, dari Malaysia? NO. Saya dari Indonesia. Oh serempak mulut mereka berseru : Ohhhhhhh! Alamak! Bener deh sulit membedakan orang Indonesia, Malaysia dan Philippines. Tapi ini pengalaman menarik buat saya. Ini keberuntungan atau tidak buat saya belum tahu juga sih.

Perjalanan yg melelahkan dari DMIA(Clark Airport) ke jantung kota Manila membuat saya bertambah blue. Suasana jalanan dan kondisi rumah di kanan - kiri mirip dengan kondisi Indonesia saja. Bedanya bentuk bangunannya memang sedikit berbeda. Dan yg paling menyolok membedakannya adalah transportasi umum yaitu Jeepney. Mirip mobil Jeep yg dimodifikasi menjadi kayak kotak persegi panjang tapi diberikan deco atau grafiti yg cukup funky dan warnanya sangat terang dan jreng sekali. Saya suka dengan bentuknya yg unik. Tapi plafonnya agak rendah sekali jadi kalau tidak hati-hati kepala bisa kejedot hahaha.


Setelah dua jam melewati berbagai perkampungan dan persawahan, mulai terlihat suasana kota Manila yg supermacet. Anehnya bangunan-bangunan di kota Manila ini begitu buram dan sendu sekali. Saya terbiasa dengan kota Jakarta yg penuh warna-warni bangunan yg lumayan funky. Lah ini masuk kota Manila terasa suram sekali. Warna cat pada bangunan cenderung pucat sekali. Mau tanya kenapa yah, tapi sama siapa, secara nga bisa bahasa Tagalog hehehe. Dalam hati saya bergumam, kayaknya mendingan Jakarta nie, macet juga tapi bangunannya lebih funky. Halah narsis amat sich.

Saya mencoba menikmati suasa macet yg luar biasa ini dengan mengamati kendaraan umum Jeepney yg model dan grafitinya unik sekali di mata saya hehehe. Karena ini perjalanan perdana saya ke Manila, meskipun macet saya masih bisa menikmatinya. Saya senyum-senyum sendiri memperhatikan lalu-lalang mobil,bis dan Jeepney.

Setelah hampir 3 jam perjalanan, belum sampai juga di SM Mall, beberapa penumpang sudah mulai turun di beberapa area yg tidak saya kenali. Melihat orang pada turun, saya mulai resah kapan sampainya di SM Mall. Saya coba tanya ke teman sebelah saya, masih jauh nga ke SM Mall? Mereka serempak jawab : sudah dekat tapi macet. Nanti kita juga turun di SM Mall katanya. Jadi bareng saja ya. Begitu mau sampai SM Mall, saya balik lagi resah, gimana caranya ke  hostel saya ya? Katanya lokasinya di Makati Avenue. Dari SM Mall ke Makati dari info di web, naik taxi meteran sekitar PHP80-PHP100.

Setelah lelah melewati macet akhirnya tiba juga di SM Mall. Duh kirain gedungnya kayak Plaza Indonesia tadi ternyata hanya biasa ajalah kayak MM Mall Bekasi aja tuch. Turun dari Piltranco bus saya sudah dihadang para supir taxi yg memburu penumpang. Rata-rata menawarkan tidak pakai argo meteran, padahal saya ssudah diwanti-wanti untuk cari taxi yg pakai argo meter saja. Akhirnya saya harus tanya dulu pakai argo meteran atau tidak.Setelah dihadang berbagai supir taxi yg nafsu banget maka saya akhirnya menemukan taxi yg bersedia pakai argo meteran. Dia membantu saya keluar dari kerumuman para supir itu. Setengah bercanda salah seorang supir taxi yg ada di situ menegur sang supir tersebut dengan kalimat yg tidak saya pahami sama sekali. Mungkin saja dia ngomong begini : Kog kamu mau sich pakai argometer? ( Ini sich tebak-tebak buah manggis aja hahaha)

Singkat cerita taxi melaju menuju Makati Avenue, sang supir hanya minta lembaran kertas yg bertuliskan alamat Avenue Hotel saja. Setelah itu dia diam membisu saja. Saya pun tenggelam dalam lamunan saya. Tak tertarik untuk berbincang-bincang sama sekali. Tak lebih dari 15 menit saya sudah tiba di depan lobby Avenue Hotel. Saya lihat argometer menunjukkan angka PHP104.  Saya yakin sang supir  pasti tak punya uang kembaliannya, jadi dengan sukarela saya berikan PHP110. Lalu melenggang keluar menuju lobby hotel.

To be continue,
nuchan@2011

No comments:

Post a Comment