Tuesday, August 28, 2012

Bule sialan menguji kesabaranku

Suatu kali setelah selesai market survey di Sikka Maumere, saya dan 2 orang adviser dari Jepang  naik salah satu penerbangan nasional kita dari Bali menuju Jakarta. Saat itu karena keadaan sangat darurat, maka  saya dan mereka, mempercepat jadwal penerbangan kami 2 hari lebih cepat dari tanggal yg tertera di tiket, menyesuaikan jadwal terbang Lion Air yg 3X dalam seminggu antara Bali dan Sikka-Maumere.

Sebab utamanya karena salah satu adviser saya mengalami cedera pada kaki kirinya, dan cara perawatan,obat-obatan serta peralatan yg ada di  rumah sakit umum Sikka-Maumere ini  kurang memadai. Maka kami memutuskan mempercepat jadwal kepulangan kami ke Jakarta. Karena penerbangan Jakarta –Maumere tidak ada yg langsung, maka kami harus melakukan penerbangan dari Jakarta-Bali-Sikka-Bali-Jakarta. Itu pun dengan menggunakan 2 maskapai penerbangan  yg berbeda  Jadi kami naik Lion Air dulu ke Bali, setelah itu  saya ganti pesawat nasional kita dari Bali ke Jakarta.

Ketika  pesawat kami mendarat di Ngurah Rai Airport, saya pun buru-buru menuju salah satu counter pesawat nasional kita  ini, untuk mengecek apakah ada pesawat yg paling cepat yg akan berangkat menuju Jakarta. Adviser saya yg sedang cedera kaki kiri ini harus segera dibawa ke salah satu rumah sakit khusus buat orang asing namanya SOS di daerah Kuningan. Beliau harus mendapatkan perawatan yg layak di Jakarta. Karena beberapa hari kemudian beliau harus melakukan penerbangan kembali ke Jepang. Dan semua tiket pesawat sudah dibeli dan reservasi kamar hotel di Jakarta juga sudah dipesan. Untuk mengantisipasi bahwa luka parah di kakinya ini tidak semakin memburuk, maka kami memutuskan untuk segera membawa beliau berobat di Jakarta. Dan rekan kerja  yg di Jakarta sudah menghubungi pihak RS dan dokter agar segera disiapkan. Semuanya sudah diatur. Saya hanya perlu segera mencari pesawat paling pagi yg harus terbang dari Bali ke Jakarta.

Pesawat Lion Air yg dari Sikka mendarat di Ngurah Rai Airport pukul 9:30pagi. Dan saya segera berlari menuju counter penjualan tiket pesawat, saya segera memberikan tiket saya untuk dilakukan re-schedule dengan penerbangan yg tercepat. Setelah dicek akhirnya petugas bilang ada pesawat berikutnya jam 11 siang atau masih ada yg jam 12:30. Saat itu saya putuskan untuk terbang dengan penerbangan yg  jam 11 siang saja, agar bisa cepat tiba di RS. Kebayang macetnya di Jakarta maka saya pikir lebih cepat lebih baik. Saya khawatir adviser saya yg sakit ini akan makin parah. Saya bener-bener dikejar waktu. Akhirnya setelah berpacu dengan waktu dan jantung deg-degan karena ternyata petugas yg sedang melakukan re-schedule pesawat kami ini masih dalam tahap training, sehingga proses penggantian jadwal dan re-issue ticket ini jadi lama dan beberapa kali error. Saya pengen maklum dengan kondisi mereka ini, tapi situasi saya yg sudah dikejar waktu bikin saya tak tahan melihat pelayanan di counter ini yg lelet dan menjengkelkan. Saya sampai hampir hilang kesabaran. Sudah pukul 10:30 tapi mereka belum selesai juga. Saya berulang-ulang bilang bahwa kami masing-masing punya bagasi. Apakah cukup waktunya untuk check-in. Tapi petugas ini tetap bilang oke-oke. Saya yg sedang diburu waktu dan juga terjebak dengan stigma bahwa orang Indonesia ini cenderung tidak bisa dipercaya maka saya jadi dilanda rasa khawatir dan degdegan. Saya khawatir mereka salah dan akibatnya saya tak bisa terbang, atau bisa terbang tapi ada masalah. Suasana ini membuat saya harus mengatur nafas saya dengan benar kalau tak mau saya lepas kontrol dan marah. Setelah dengan berbagai drama yg menguji kesabaran saya, akhirnya tiket kami selesai juga dicetak. Meskipun tiket kami akhirnya 2X dicetak ulang karena salah nama dan juga ada kesalahan dalam penghitungan untuk biaya tambahannya sehingga credit card saya harus dilakukan ”void” 2X. Ckckck.Tapi akhirnya kami bisa check-in meskipun terburu-buru banget. Tapi setidaknya kami bisa masuk pesawat  tepat waktu.

Mungkin karena kami melakukan reschedule ticket, maka kami akhirnya mendapat kursi di paling belakang, mentok di dekat toilet. Sebenarnya buat saya pribadi duduk di mana saja tidak terlalu masalah banget. Apalagi kalau hanya terbang kurang lebih 2 jam. No problemo. Posisi kursi tidak penting. Paling-paling saya lebih sering tertidur di pesawat.

Setelah pesawat kami take off dan pesawat sudah berada di ketinggian mencapai 37,000 kaki, maka terdengar pengumuman bahwa lampu tanda sabuk pengaman sudah dimatikan. Artinya kami bebas mau pakai sabuk pengaman atau tidak. Atau boleh ke toilet atau tidak. Saya memilih duduk tenang dan memainkan game di smartphones saya. Satu orang  adviser saya memilih memandang awan-awan yg sedang berarak melalui jendela pesawat dan satu orang lagi yg sakit memilih tiduran.

Tak lama kemudian petugas pesawat sudah datang membawa troli makanan dan sibuk menawarkan berbagai jenis makanan karena memang sudah jadwal makan siang. Terdengar bunyi-bunyi  meja lipat di pesawat dibuka dan penumpang bersiap-siap untuk  makan siang. Kami pun bertiga  ikutan membuka meja lipat. Tapi sayang sekali salah seorang adviser saya agak  kesulitan membuka meja lipat tersebut karena seorang penumpang di depannya itu sedang mendorong kursinya ke belakang dan dalam posisi berbaring. Lalu dengan sangat sopan, adviser saya meminta tolong agar posisi kursi yg di depan itu dikembalikan dulu ke posisi standar. Karena beliau sulit mengatur meja lipatnya.

Tapi entah kenapa penumpang yg di depan tersebut dengan kasar menolak permintaan tersebut. Saya yg saat itu melihat kejadian itu kaget. Kaget karena memang saat itu sudah terlihat semua orang sedang mau makan siang. Bahkan penumpang yg kasar itu pun sedang membuka meja lipatnya. Pasti dia tahu dong, kalau dia mendorong kursi ke belakang saat jadwal makan siang begini akan membuat penumpang yg dibagian belakang dia, kesulitan mengatur meja lipatnya.  Kejadian ini  hampir membuat emosi saya meledak. Tapi karena sejak pagi dari Sikka-Maumere saya sudah mengalami berbagai drama, dari satu drama ke drama berikutnya, saya masih  mencoba mengontrol emosi saya. Jam 5 pagi saya sudah bangun dan mengatur persiapan agar kami bisa mendapatkan pesawat yg paling pagi dari Sikka. Karena Lion Air yg terbang dari Sikka ke Denpasar itu hanya 3X seminggu. Dan saya tak bisa membayangkan kalau saya tidak bisa mendapatkan pesawat paling pagi di hari itu, maka saya harus menunggu 2 hari lagi. Dan itu tak akan bisa menyelamatkan kaki adviser saya yg luka parah dan harus ditangani dokter  ahli di Jakarta. Maka pagi itu saya harus berkejaran dengan waktu dan harus konsentrasi penuh agar saya bisa menyelesaikan tugas saya dengan tepat dan benar. Tapi sayangnya ada saja peristiwa sepele yg disebabkan human error dari petugas hotel atau supir mobil yg disewa, dan  membuat segala sesuatunya serba menegangkan, adrenalin di jantung saya meningkat tajam. Meskipun pada akhirnya berbagai drama ini bisa dilalui dan tiket pesawat paling pagi tersedia dan bisa terbeli dan kami terbang dengan selamat sampai di Bali tapi drama itu cukup menguji kesabaran saya. Saya memang berhasil lolos dari amukan amarah saya. Berulang-ulang saya meredam amarah saya. Karena tugas utama saya saat ini adalah fokus menerbangkan adviser saya secepatnya ke Jakarta dan mendapat pengobatan terbaik di SOS Kuningan.

Maka drama  penolakan agar  sandaran kursi yg di dorong ke belakang ini bisa dinormalkan tapi dengan kasar ditolak oleh penumpang lainnya, bikin saya bener-bener pengen memaki si penumpang sialan ini. Saat itu saya masih menahan diri. Saya berdiri dan melihat penumpang tersebut ternyata orang asing alias bule. Tubuhnya tinggi besar dan kakinya panjang. Mungkin karena kakinya panjang maka dia berusaha mendorong kursi ke belakang agar dia bisa duduk nyaman. Sayang sekali kenyamanan yg diharapkannya itu menyebabkan kesengsaraan buat orang lain. Penolakannya ini pun menurut saya sebagai wujud dari sikapnya yg mau enaknya sendiri tanpa peduli orang lain sengsara atau tidak. Dilihat dari tampangnya sih dia cukup terdidik, ditambah lagi dia orang asing. Menurut saya, dia pasti tahu etika di pesawat dong.

Tiba-tiba saja segala jenis  sumpah serapah dan kutukan dan kalimat makian sudah menari-nari di benak saya. Rasanya lidah saya sudah gemes pengen memuntahkan segala sumpah serapah dan  dan makian ini. Ingin rasanya saya memaki untuk memuaskan amarah saya yg sudah akan meledak. Tapi sekali lagi saya mencoba tenang dan berpikir lebih jernih. Saya  menutup mata saya dan menarik nafas sejenak. Setelah itu saya bangkit dan memanggil seorang pramugrasi wanita. Saya minta tolong sang pramugari  agar meminta si penumpang yg di depan adviser saya ini mengembalikan posisi kursinya menjadi tegak dan kembali normal.  Sang pramugari datang dan dengan wajah  tegas meminta sang penumpang mengembalikan posisi kursinya menjadi tegak. Terlihat sang penumpang sialan ini  menggerutu tapi dengan terpaksa dia mengembalikan kursinya posisi tegak kembali. Mungkin karena masih tak puas, mulut penumpang si bule tadi masih bersungut-sungut.

Mendengar mulutnya masih bersungut-sungut, lalu saya bilang ke adviser saya begini dengan sedikit meninggikan suara saya, kalau dia masih tetap menggerutu terus, nanti saya akan memaki-maki dia. Sembari mengucapkan kalimat itu, rasanya seperti ada adegan film di kepala saya, yg menampilkan kalau saya sedang menampar si bule ini dengan tangan saya. Rasanya gambaran itu sedang menari-nari di benak saya. Hasrat ingin menampar si bule sialan ini begitu mendesak di otak saya. Tapi saya berusaha meredakan kemarahan saya sembari menutup mata saya. Saya ingin membunuh rasa galau di dada saya, karena menahan kesal. Cukup sudah drama hari ini saya bilang ke adviser saya ini. Adviser saya tersenyum simpul. Lalu dia bilang begini, saya tidak suka dia, sangat kasar. Tidak punya etika. Ini pertama kalinya saya terbang dan bertemu dengan orang yg kasar begini katanya.

Tak pernah terlintas di benak saya ada juga orang bule dengan balutan baju yg kelihatannya seperti orang terdidik begitu, tapi kurang punya etika. Tadinya kalau orang Indonesia, mungkin saya masih maklum kali ya. Mungkin baru pertama kali  naik pesawat jadi belum paham soal etika di dalam pesawat yg nota bene tetap angkutan umum dan sesama penumpang harus punya etika dan toleransi, karena ini bukan pesawat pribadi. . Tapi rasanya orang bule begini, hampir nga nyangkut di otak saya, nga mungkin banget deh. Lagian dia terbang di negara saya di pesawat nasional negara saya, bukan di negara dia. Kalau saya sedang terbang di negara mereka, terus dia memandang sebelah mata karena kami orang Asia, saya anggap dia mungkin bule rasis. Tapi ini di luar negaranya, bener-bener tidak sopan dan kurang ajar. Ini orang bule memang mau seenaknya dhewe aja. Perlu dihajar juga tuch bule sialan. Ampun dah. 

nuchan@082012
uji kesabaran

No comments:

Post a Comment