Suatu kali setelah selesai market survey di Sikka Maumere,
saya dan 2 orang adviser dari Jepang
naik salah satu penerbangan nasional kita dari Bali menuju Jakarta. Saat itu karena
keadaan sangat darurat, maka saya dan
mereka, mempercepat jadwal penerbangan kami 2 hari lebih cepat dari tanggal yg
tertera di tiket, menyesuaikan jadwal terbang Lion Air yg 3X dalam seminggu
antara Bali dan Sikka-Maumere.
Sebab utamanya karena salah satu adviser saya mengalami
cedera pada kaki kirinya, dan cara perawatan,obat-obatan serta peralatan yg ada
di rumah sakit umum Sikka-Maumere
ini kurang memadai. Maka kami memutuskan
mempercepat jadwal kepulangan kami ke Jakarta.
Karena penerbangan Jakarta
–Maumere tidak ada yg langsung, maka kami harus melakukan penerbangan dari
Jakarta-Bali-Sikka-Bali-Jakarta. Itu pun dengan menggunakan 2 maskapai
penerbangan yg berbeda Jadi kami naik Lion Air dulu ke Bali, setelah
itu saya ganti pesawat nasional kita
dari Bali ke Jakarta.
Ketika pesawat kami
mendarat di Ngurah Rai Airport,
saya pun buru-buru menuju salah satu counter pesawat nasional kita ini, untuk mengecek apakah ada pesawat yg
paling cepat yg akan berangkat menuju Jakarta.
Adviser saya yg sedang cedera kaki kiri ini harus segera dibawa ke salah satu
rumah sakit khusus buat orang asing namanya SOS di daerah Kuningan. Beliau
harus mendapatkan perawatan yg layak di Jakarta.
Karena beberapa hari kemudian beliau harus melakukan penerbangan kembali ke
Jepang. Dan semua tiket pesawat sudah dibeli dan reservasi kamar hotel di Jakarta juga sudah
dipesan. Untuk mengantisipasi bahwa luka parah di kakinya ini tidak semakin
memburuk, maka kami memutuskan untuk segera membawa beliau berobat di Jakarta. Dan
rekan kerja yg di Jakarta sudah menghubungi pihak RS dan dokter
agar segera disiapkan. Semuanya sudah diatur. Saya hanya perlu segera mencari
pesawat paling pagi yg harus terbang dari Bali ke Jakarta.
Pesawat Lion Air yg dari Sikka mendarat di Ngurah Rai Airport pukul 9:30pagi. Dan saya segera
berlari menuju counter penjualan tiket pesawat, saya segera memberikan tiket
saya untuk dilakukan re-schedule dengan penerbangan yg tercepat. Setelah dicek
akhirnya petugas bilang ada pesawat berikutnya jam 11 siang atau masih ada yg
jam 12:30. Saat itu saya putuskan untuk terbang dengan penerbangan yg jam 11 siang saja, agar bisa cepat tiba di RS.
Kebayang macetnya di Jakarta
maka saya pikir lebih cepat lebih baik. Saya khawatir adviser saya yg sakit ini
akan makin parah. Saya bener-bener dikejar waktu. Akhirnya setelah berpacu
dengan waktu dan jantung deg-degan karena ternyata petugas yg sedang melakukan
re-schedule pesawat kami ini masih dalam tahap training, sehingga proses
penggantian jadwal dan re-issue ticket ini jadi lama dan beberapa kali error. Saya
pengen maklum dengan kondisi mereka ini, tapi situasi saya yg sudah dikejar
waktu bikin saya tak tahan melihat pelayanan di counter ini yg lelet dan
menjengkelkan. Saya sampai hampir hilang kesabaran. Sudah pukul 10:30 tapi
mereka belum selesai juga. Saya berulang-ulang bilang bahwa kami masing-masing
punya bagasi. Apakah cukup waktunya untuk check-in. Tapi petugas ini tetap
bilang oke-oke. Saya yg sedang diburu waktu dan juga terjebak dengan stigma
bahwa orang Indonesia
ini cenderung tidak bisa dipercaya maka saya jadi dilanda rasa khawatir dan degdegan.
Saya khawatir mereka salah dan akibatnya saya tak bisa terbang, atau bisa
terbang tapi ada masalah. Suasana ini membuat saya harus mengatur nafas saya
dengan benar kalau tak mau saya lepas kontrol dan marah. Setelah dengan
berbagai drama yg menguji kesabaran saya, akhirnya tiket kami selesai juga
dicetak. Meskipun tiket kami akhirnya 2X dicetak ulang karena salah nama dan
juga ada kesalahan dalam penghitungan untuk biaya tambahannya sehingga credit
card saya harus dilakukan ”void” 2X. Ckckck.Tapi akhirnya kami bisa check-in
meskipun terburu-buru banget. Tapi setidaknya kami bisa masuk pesawat tepat waktu.
Mungkin karena kami melakukan reschedule ticket, maka kami
akhirnya mendapat kursi di paling belakang, mentok di dekat toilet. Sebenarnya
buat saya pribadi duduk di mana saja tidak terlalu masalah banget. Apalagi
kalau hanya terbang kurang lebih 2 jam. No problemo. Posisi kursi tidak
penting. Paling-paling saya lebih sering tertidur di pesawat.
Setelah pesawat kami take off dan pesawat sudah berada di
ketinggian mencapai 37,000 kaki, maka terdengar pengumuman bahwa lampu tanda
sabuk pengaman sudah dimatikan. Artinya kami bebas mau pakai sabuk pengaman
atau tidak. Atau boleh ke toilet atau tidak. Saya memilih duduk tenang dan
memainkan game di smartphones saya. Satu orang
adviser saya memilih memandang awan-awan yg sedang berarak melalui
jendela pesawat dan satu orang lagi yg sakit memilih tiduran.
Tak lama kemudian petugas pesawat sudah datang membawa troli
makanan dan sibuk menawarkan berbagai jenis makanan karena memang sudah jadwal
makan siang. Terdengar bunyi-bunyi meja
lipat di pesawat dibuka dan penumpang bersiap-siap untuk makan siang. Kami pun bertiga ikutan membuka meja lipat. Tapi sayang sekali
salah seorang adviser saya agak kesulitan
membuka meja lipat tersebut karena seorang penumpang di depannya itu sedang
mendorong kursinya ke belakang dan dalam posisi berbaring. Lalu dengan sangat sopan, adviser saya meminta
tolong agar posisi kursi yg di depan itu dikembalikan dulu ke posisi standar. Karena
beliau sulit mengatur meja lipatnya.
Tapi entah kenapa
penumpang yg di depan tersebut dengan kasar menolak permintaan tersebut. Saya
yg saat itu melihat kejadian itu kaget. Kaget karena memang saat itu sudah
terlihat semua orang sedang mau makan siang. Bahkan penumpang yg kasar itu pun
sedang membuka meja lipatnya. Pasti dia tahu dong, kalau dia mendorong kursi ke
belakang saat jadwal makan siang begini akan membuat penumpang yg dibagian
belakang dia, kesulitan mengatur meja lipatnya. Kejadian ini hampir membuat emosi saya meledak. Tapi karena
sejak pagi dari Sikka-Maumere saya sudah mengalami berbagai drama, dari satu
drama ke drama berikutnya, saya masih mencoba mengontrol emosi saya. Jam 5 pagi saya
sudah bangun dan mengatur persiapan agar kami bisa mendapatkan pesawat yg
paling pagi dari Sikka. Karena Lion Air yg terbang dari Sikka ke Denpasar itu
hanya 3X seminggu. Dan saya tak bisa membayangkan kalau saya tidak bisa
mendapatkan pesawat paling pagi di hari itu, maka saya harus menunggu 2 hari
lagi. Dan itu tak akan bisa menyelamatkan kaki adviser saya yg luka parah dan
harus ditangani dokter ahli di Jakarta.
Maka pagi itu saya harus berkejaran dengan waktu dan harus konsentrasi penuh
agar saya bisa menyelesaikan tugas saya dengan tepat dan benar. Tapi sayangnya
ada saja peristiwa sepele yg disebabkan human error dari petugas hotel atau
supir mobil yg disewa, dan membuat
segala sesuatunya serba menegangkan, adrenalin di jantung saya meningkat tajam.
Meskipun pada akhirnya berbagai drama ini bisa dilalui dan tiket pesawat paling
pagi tersedia dan bisa terbeli dan kami terbang dengan selamat sampai di Bali tapi
drama itu cukup menguji kesabaran saya. Saya memang berhasil lolos dari amukan
amarah saya. Berulang-ulang saya meredam amarah saya. Karena tugas utama saya
saat ini adalah fokus menerbangkan adviser saya secepatnya ke Jakarta dan
mendapat pengobatan terbaik di SOS Kuningan.
Maka drama penolakan agar
sandaran kursi yg di dorong ke belakang ini bisa dinormalkan tapi dengan
kasar ditolak oleh penumpang lainnya, bikin saya bener-bener pengen memaki si
penumpang sialan ini. Saat itu saya masih menahan diri. Saya berdiri dan
melihat penumpang tersebut ternyata orang asing alias bule. Tubuhnya tinggi
besar dan kakinya panjang. Mungkin karena kakinya panjang maka dia berusaha
mendorong kursi ke belakang agar dia bisa duduk nyaman. Sayang sekali
kenyamanan yg diharapkannya itu menyebabkan kesengsaraan buat orang lain.
Penolakannya ini pun menurut saya sebagai wujud dari sikapnya yg mau enaknya
sendiri tanpa peduli orang lain sengsara atau tidak. Dilihat dari tampangnya
sih dia cukup terdidik, ditambah lagi dia orang asing. Menurut saya, dia pasti
tahu etika di pesawat dong.
Tiba-tiba saja
segala jenis sumpah serapah dan kutukan
dan kalimat makian sudah menari-nari di benak saya. Rasanya lidah saya sudah
gemes pengen memuntahkan segala sumpah serapah dan dan makian ini. Ingin rasanya saya memaki
untuk memuaskan amarah saya yg sudah akan meledak. Tapi sekali lagi saya
mencoba tenang dan berpikir lebih jernih. Saya
menutup mata saya dan menarik nafas sejenak. Setelah itu saya bangkit
dan memanggil seorang pramugrasi wanita. Saya minta tolong sang pramugari agar meminta si penumpang yg di depan adviser
saya ini mengembalikan posisi kursinya menjadi tegak dan kembali normal. Sang pramugari datang dan dengan wajah tegas meminta sang penumpang mengembalikan
posisi kursinya menjadi tegak. Terlihat sang penumpang sialan ini menggerutu tapi dengan terpaksa dia
mengembalikan kursinya posisi tegak kembali. Mungkin karena masih tak puas, mulut
penumpang si bule tadi masih bersungut-sungut.
Mendengar
mulutnya masih bersungut-sungut, lalu saya bilang ke adviser saya begini dengan
sedikit meninggikan suara saya, kalau dia masih tetap menggerutu terus, nanti
saya akan memaki-maki dia. Sembari mengucapkan kalimat itu, rasanya seperti ada
adegan film di kepala saya, yg menampilkan kalau saya sedang menampar si bule
ini dengan tangan saya. Rasanya gambaran itu sedang menari-nari di benak saya. Hasrat ingin menampar si bule
sialan ini begitu mendesak di otak saya. Tapi saya berusaha meredakan kemarahan saya sembari menutup mata saya. Saya
ingin membunuh rasa galau di dada saya, karena menahan kesal. Cukup sudah drama
hari ini saya bilang ke adviser saya ini. Adviser saya tersenyum simpul. Lalu dia bilang
begini, saya tidak suka dia, sangat kasar. Tidak punya etika. Ini pertama
kalinya saya terbang dan bertemu dengan orang yg kasar begini katanya.
Tak pernah terlintas di benak saya ada juga orang
bule dengan balutan baju yg kelihatannya seperti orang terdidik begitu, tapi
kurang punya etika. Tadinya kalau orang Indonesia, mungkin saya masih maklum
kali ya. Mungkin baru pertama kali naik
pesawat jadi belum paham soal etika di dalam pesawat yg nota bene tetap angkutan
umum dan sesama penumpang harus punya etika dan toleransi, karena ini bukan
pesawat pribadi. . Tapi rasanya orang bule begini, hampir nga nyangkut di otak saya, nga mungkin banget deh. Lagian dia terbang di negara saya di
pesawat nasional negara saya, bukan di negara dia. Kalau saya sedang terbang di
negara mereka, terus dia memandang sebelah mata karena kami orang Asia, saya
anggap dia mungkin bule rasis. Tapi ini di luar negaranya, bener-bener tidak sopan dan kurang ajar.
Ini orang bule memang mau seenaknya dhewe aja. Perlu dihajar juga tuch bule
sialan. Ampun dah.
nuchan@082012
uji kesabaran
No comments:
Post a Comment