Kalau ada yg membaca nama saya, pasti mereka tak pernah menduga kalau saya adalah gadis berdarah Batak. Saya pun heran kenapa ayah-ibu saya tak mendaftarkan saya sekolah dengan mencantumkan marga ayah saya sebagai penanda kalau saya adalah gadis berdarah Batak. Dulu pernah terpikir mau bertanya ke ayah saya “ kenapa saya tak pakai marga ?”, tapi entah kenapa saya lupa dan tak sempat bertanya langsung. Lagi pula bagi saya marga itu tak begitu penting. Jadilah sekarang semua ijazah saya mencantumkan nama saja tanpa marga ayah saya. ( Kasihan gadis Batak kehilangan identitas hehehe )
Teman-teman saya yg semula tak menduga saya gadis Batak dan di kemudian hari mereka tahu saya gadis Batak, akan selalu mengeluarkan rasa kaget yg sama dan mencecar saya dengan segudang pertanyaan. Capek dech! Koq nama kamu nga pakai marga sich? Kamu marga apa? Kampungnya di mana? Kamu bisa bahasa Batak tidak? Masih panjang lagi pertanyaannya. Kalau saya jabarkan di sini bisa jadi 2Km panjangnya hahaha…maaf ini sich lebay :-)
Yg lebih menyedihkan lagi, saya jarang bergaul atau berteman dengan orang Batak. Bahkan saya tak begitu lancar berbahasa Batak. Sejak saya kecil, kami sekeluarga tinggal di Sumatra Timur, yg masyarakatnya mayoritas Melayu dan beragama Moslem. Bayangkan dari ribuan KK yg ada di sana, hanya ada 2 KK yg beragama Nasrani. Bahasa sehari-hari pun yg dipakai adalah bahasa Melayu Deli. Walaupun di rumah kami, ayah-ibu saya menggunakan bahasa Batak tapi semua anak-anaknya selalu menjawab dalam bahasa Melayu Deli. Itu sebabnya saya mengerti sedikit bahasa Batak tapi kurang bisa berkomunikasi dengan bahasa Batak yg baik dan benar.
Bahkan saya pun tak begitu peduli dengan segala macam adat-istiadat Batak yg rumit dan unik ini. Padahal ayah-ibu saya sangat gigih dan setia menjalankan seluruh adat-istiadat Batak ini, tapi saya sebagai salah satu keturunannya kurang begitu peduli. Saya pusing melihat silsilah keluarga yg begitu panjang. Lagian apa untungnya sich mengikuti segala macam aturan dan adat-istiadat ini. Mau menikahkan anak perempuan saja repotnya bukan main. Alamak para sesepuh itu bisa semalamam berdiskusi masalah “hepeng sinamot alias uang mahar”. Bisa pulak gara-gara uang mahar yg terlalu murah atau terlalu mahal, batal menikah. Bukan karena kedua mempelai tak setuju dengan harga uang mahar tersebut. Tapi para sesepuhnya yg tak mau terima dengan harga uang mahar tersebut. Ayak-ayak wae!
Saya pernah sampai bilang begini sama ayah saya : “ Sampai mati pun, saya tak mau menikah sama orang Batak”. Masak gara-gara uang mahar yg tak sesuai dengan kesepakatan para tetua adat, bisa batal menikah. Ngapain menikah pakai adat Batak segala, kalau hanya bikin susah dan repot saja. Buang saja adat Batak itu ke laut sana, kata saya dengan amarah yg meledak-ledak. Saat itu ayah-ibu saya hanya diam membisu. Mungkin mereka pun mulai sadar bahwa ada beberapa hal yg memberatkan dalam adat Batak ini.
Akibat rumitnya adat Batak ini membuat saya mulai alergi dan semakin tak peduli dengan adat Batak ini. Saking sebelnya sama hal-hal yg berbau Batak, seringkali saya menghindari bergaul dengan teman-teman dari suku Batak. Jadilah saya gadis berdarah Batak yg buta sama sekali tentang adat-istiadat Batak. Saya hanya hapal marga ayah-ibu saya. Tapi kalau sudah mulai ditanya soal “martarombo” atau ditanya lebih lanjut tentang silsilah keluarga saya, maka saya hanya bisa jawab : “Maaf maaf! Saya kurang tahu. Nanti saya tanya dulu kakak tertua saya”.
Karena seringnya saya tak tahu apa-apa tentang adat Batak ini, sampai pernah ada yg bilang begini ke saya : Gila, kamu belagu banget sich! Masak nga bisa bahasa Batak? Beneran nga bisa atau pura-pura nga bisa? Kenapa? Malu yah jadi orang Batak. Sombong banget sich lho! Masak kamu nga tahu silsilah keluargamu? Yg bener aja dong…Belagu lho!
Waktu dibombardir dengan kata-kata seperti itu, amarah saya hampir meledak dan rasanya pengen membogem orang itu sampai modar. Apa urusannya dia marah-marah sama saya karena tak tahu adat Batak. Siapa dia? Bukan saudara, bukan sahabat dekat, hanya kenalan biasa. Saya marah sekali, sejuta kata-kata makian sudah menari-nari di otak saya dan mulut saya siap memuntahkan makian. Tapi entah kekuatan apa yg menahan mulut saya untuk tidak berbicara. Saya terdiam, diam membeku. Saya ingin berteriak, tapi tak ada suara yg keluar dari mulut saya. Alih-alih memaki, saya malah masuk ke kamar saya, mengambil photo ibu saya, memandangi matanya yg teduh dan penuh kasih. Akhirnya karena dada saya sesak menahan marah, malah saya nangis bombay. Dan sorot mata ibu saya pun seolah-olah turut mengaminkan tuduhan orang itu. Saya merasa ibu saya sedang bicara melalui sorot matanya ke saya. “Bener anakku, kamu sudah lupa dengan akar budayamu”. “Kamu sudah lupa dari mana asal usulmu”. Apa yg dituduhkan temanmu itu : “Benar. Benar sekali. Coba renungkan baik-baik”. Tapi otakku mulai menjawab : “Iyah, benar sich benar. Tapi dia tak perlu ngomong gitu dong”. Saya mulai berbantah-bantah dengan nurani saya
Setelah kejadian konyol itu, saya mencoba menenangkan diri saya sampai berhari-hari. Saya coba introspeksi diri, suka atau tak suka, pada akhirnya saya mengakui bahwa apa yg dikatakan teman saya itu ada benarnya juga ya : “Saya memang TERLALU”. Masak orang Batak, nga tahu silsilah keluarga sendiri. Dan saya pun tak perlu beradu argumen tentang tudingannya itu. Yah, saya akui sekarang bahwa saya memang belagu banget. Titik.
Kejadian itu telah menjadi “turning point” buat saya. Saya mulai berubah sedikit demi sedikit. Saya mulai rajin menelpon kakak tertua saya tentang urusan silsilah keluarga saya. Saya mulai gila mencari informasi dari semua media tentang segala tetek-bengek adat-istiadat Batak yg rumit ini. Dan mencari tahu segala pernak-pernik budaya Batak. Dalam waktu singkat saya sudah banyak tahu tentang adat-istiadat dan budaya Batak ini. Ternyata semakin saya belajar, semakin saya menyadari betapa hebatnya nenek moyang orang Batak dan betapa kayanya khasanah budaya Batak.
Satu hal yg membuat saya sangat kagum adalah betapa cerdasnya nenek moyang orang Batak dalam hal mengidentifikasi seluruh garis keturunannya. Bisa dibayangkan betapa efisiennya sistem pencantuman marga ini pada setiap orang Batak, sehingga di kemudian hari siapa pun mampu menelusuri setiap garis keturunan ini, walaupun sudah sampai 7 turunan. Luar biasa. Dan sistem pencantuman marga ini pun akan cukup efektif untuk mencegah perkawinan sedarah (Secara menurut adat Batak, orang Batak yg satu marga itu adalah adik-beradik dan dilarang kawin-mawin karena masih sedarah )
Sejarah atau asal-usul marga orang Batak
Anda pasti tahu, orang Batak yang tersebar di berbagai penjuru Indonesia terkenal dengan marganya (simbol keluarga). Saking banyaknya marga Batak, kita yang bukan orang Batak sulit menghapalnya. Marga di dapat dari dari garis keturunan ayah, yang diturunkan kepada penerusnya.
Menurut kepercayaan, induk marga Batak di mulai dari Si Raja Batak yang punya dua anak yakni Guru Tatea Bulan dan Si Raja Isumbaon. Guru Tatea mempunyai istri bernama Si Boru Baso Burning dan memiliki 5 putra dan 4 putri.
- Putra :
- Si Raja Biak-Biak.
- Tuan SaribuRaja.
- Limbong Mulana.
- Sagala Raja.
- Malau Raja.
- Putri :
- Si Boru Pareme, kawin dengan Tuan SaribuRaja.
- Si Boru Anting Sabungan, kawin dengan Tuan SorimangaRaja, putra Raja Isumbaon.
- Si Boru Biding Laut, juga kawin dengan Tuan SorimangaRaja.
- Si Boru Nan Tinjo, tidak kawin.
Sementara itu Si Raja Isumbaon mempunyai 3 (tiga) orang putra yaitu, Tuan SorimangaRaja, Si Raja Asiasi, dan Sangkar Somalindang.
- SaribuRaja dan Marga-marga Keturunannya
SaribuRaja adalah nama putra kedua dari Guru Tatea Bulan. Dia dan adik kandungnya perempuan yang bernama Si Boru Pareme dilahirkan marpohas (anak kembar berlainan jenis).
Mula-mula SaribuRaja kawin dengan Nai Margiring Laut, dan melahirkan seorang putra yang bernama Raja Iborboron (Borbor). Tetapi kemudian Si Boru Pareme menggoda abangnya SaribuRaja, sehingga antara mereka terjadi perkawinan incest. Karena saudara-saudara yang lainnya tidak suka, maka
SaribuRaja pergi mengembara ke hutan dengan meninggalkan Si Boru Pareme dalam keadaan hamil. Ketika Si Boru Pareme akan melahirkan, dia dibuang oleh saudara-saudaranya ke hutan belantara. Di sana dia bertemu dengan SaribuRaja yang sudah mempunyai “istri” seekor harimau betina.
Si Boru Pareme melahirkan seorang putra yang bernama Si Raja Lontung. Dari istrinya sang harimau, SaribuRaja memperoleh putra yang bernama Si Raja Babiat. di kemudian hari Si Raja Babiat mempunyai banyak keturunan di daerah Mandailing. Mereka bermarga BayoAngin.
A. Si Raja Lontung
Putra pertama dari Tuan SaribuRaja ini mempunyai 7 orang putra dan 2 orang putri, yaitu :
- Putra :
- Tuan Situmorang, keturunannya bermarga Situmorang.
- Sinaga Raja, keturunannya bermarga Sinaga.
- Pandiangan, keturunannya bermarga Pandiangan.
- Toga Nainggolan, keturunannya bermarga Nainggolan.
- Simatupang, keturunannya bermarga Simatupang.
- Aritonang, keturunannya bermarga Aritonang.
- Siregar, keturunannya bermarga Siregar.
- Putri :
- Si Boru AnakPandan, kawin dengan Toga Sihombing.
- Si Boru Panggabean, kawin dengan Toga Simamora.
Dari keturunan SITUMORANG, lahir marga-marga cabang Lumban Pande, Lumban Nahor, SuhutNihuta, SiringoRingo, Sitohang, Rumapea, Padang, Solin.
Dari keturunan SINAGA, lahir marga-marga cabang Simankorang, Simandalahi, Barutu.
Dari keturunan PANDIANGAN, lahir marga-marga cabang Samosir, Gultom, PakPahan, Sidari, Sitinjak, Harianja.
Dari keturunan NAINGGOLAN, lahir marga-marga cabang Rumahombar, Parhusip, Batubara, Lumban Tungkup, Lumban Siantar, Hutabalian, Lumban Raja, Pusuk, Buaton, Nahulae.
Dari keturunan SIMATUPANG lahir marga-marga cabang Togatorop (SiTogatorop), Sianturi, Siburian.
Dari keturunan ARITONANG, lahir marga-marga cabang Ompu Sunggu, RajaGukguk. Simaremare.
Dari keturunan SIREGAR, lahir marga-marga cabang Silo, Dongaran, Silali, Siagian, Ritonga, Sormin.
Ini hanya sekilas saja dari sejarah marga orang Batak dan dikutip dari berbagai sumber…Semoga bermanfaat…
nuchan@20102010
copyright
No comments:
Post a Comment