Handphone-ku bergetar.
Dengan enggan kubaca nama penelponnya. Private number..
Setelah beberapa saat aku menimang-nimang, akhirnya kuputuskan untuk
mengangkat telpon itu.
"Hallo." sapaku.
"Hallo Ca, ini Rosa."
"Rosa?" ucapku agak terkejut.
"Sudah terima undangannya?" tanya Rosa agak terburu-buru. Suasana hiruk
pikuk di sekitarnya terdengar samar-samar.
"Undangan?" Buru-buru aku berjalan ke arah meja ruang tamu, menahan rasa pusing yang langsung muncul ketika aku bangun dari tempat tidur,langsung mencari-cari undangan yang disebut oleh Rosa. Ternyata house-mateku menaruhnya di bawah tumpukan koran.
"Iya, aku post beberapa hari yang lalu. Harusnya sudah sampai tadi
pagi."
"Oh, iya.. ada nih.. Undangan siapa sih ini?" kubuka undangan itu dan
terkesiap melihat nama pengantin perempuannya. "Rosa! Kamu mau married?
Kenapa nggak pernah cerita di email? Ngagetin banget.." aku masih belum
pulih dari keterkejutanku. Kulihat nama pengantin prianya, memang pria
yang Rosa pacari dua tahun terakhir ini.
Rosa tertawa senang mendengar keterkejutanku. "Ca, itu undangan belum
disebar loh.. Aku kasih kamu duluan sekalian bikin kejutan supaya kamu
orang luar pertama yang tahu.." ucapnya senang.
"Ya ampun Sa.. Kamu hampir bikin aku jantungan, tau nggak?" ucapku tanpa
bisa menyembunyikan kesenangan yang juga aku rasakan saat itu.
"Ca, aku lagi buru-buru nih.. Nanti aku kirim e-mail lagi yah.." Lalu
Rosa mengakhiri percakapan singkat kami.
Aku merebahkan diriku di atas sofa. Kupandangi lagi undangan yang masih
kupegang. Rosa.. berapa umurnya sekarang? 23? Waktu memang cepat sekali
berlalu.. Aku sendiri sudah 27 tahun.. Sudah bisa kutebak reaksi mama
kalau tahu tentang hal ini nanti. Pernikahan Rosa memang alasan yang tepat
untuk menyuruhku cepat-cepat cari pacar dan menikah. Aku tahu maksud baik
mama..tapi entah mengapa hati ini masih tidak bisa untuk menerima cinta yang
lain.Hati ini seolah-olah masih diikat olehnya, oleh pria yang selalu ada di
setiap sudut benakku, yang berada nun jauh di sana.. Umurku kira-kira
sama dengan Rosa waktu papa mama mengenalkanku dengannya. Aku sedang kuliah
tahun terakhir saat itu. Ia sedang liburan di Jakarta, dan orang tuanya yang
merupakan teman baik orang tuaku membawanya ke rumah kami. Aku masih
ingat kesan pertama yang kudapat sewaktu melihatnya. Tampan namun angkuh.
Bianca, kenalan sini sama Jason." Aku baru saja pulang dari kampus waktu
mama memanggilku. Aku duduk di sebelah mama dan mengulurkan tanganku
kepada laki-laki yang dimaksud mama itu.
"Bianca" ucapku singkat. "Jason" ia membalas uluran tanganku singkat
lalu melepaskannya lagi. "Bianca, Jason ini lagi liburan dari Sydney. Kuliah
kamu kan juga sebentar lagi libur, bisa kan kamu temenin Jason kalau dia mau
jalan-jalan?" Aku menatap mama heran karena permintaan mama terdengar
janggal sekali.
"Ok" jawabku singkat, malas memperpanjang percakapan di depan orang yang
tidak kukenal.
"Jason, kamu catet donk nomor telponnya Bianca.." mama Jason tiba-tiba
angkat bicara. Aku baru ingat bahwa aku belum berkenalan dengan dua
orang lagi yang duduk di sebelah Jason. Buru-buru aku berdiri dan menyalami
mereka. "Kayaknya kita yang tua-tua ngobrol di belakang aja yuk.." papa
lalu membawa orang tua Jason ke taman belakang, meninggalkanku dan Jason
berduaan. Sejujurnya aku merasa canggung sekali karena aku memang bukan orang yang mudah bergaul.
"Bianca.." panggilannya membuatku sedikit terkejut. "Ya?" Ia lalu
melambai-lambaikan handphone-nya. Nomormu?" tanyanya singkat seraya
memberikan benda itu kepadaku. "Oh.." jawabku gugup. Kusimpan nomor
handphone-ku di memori buku telponnya.
"Kamu miss call ke handphone kamu aja supaya kamu juga punya nomorku"
ucapnya sewaktu aku hendak mengembalikan handphone-nya. "Oh.." ucapku
lagi.Aku benar-benar merasa bodoh sekali. Malu mungkin lebih tepat.
Lalu kudengar tawanya meledak. Aku menatapnya heran. "Untung mama kamu
Dah bilang kalau kamu anaknya pendiam dan pemalu.." ucapnya sambil
mengacak-acak rambutnya sendiri yang kecoklatan.
Aku dapat merasakan pipiku memerah saat itu.
Anaknya ternyata cukup menyenangkan, tidak angkuh seperti yang aku
bayangkan. Kami ngobrol cukup lama. Walaupun aku agak kaku pada awalnya,
ia berhasil membuat suasana lebih santai dengan cerita-cerita konyolnya.
Jason Tjiputra. Ia besar di Sydney dan jarang pulang ke Jakarta. Ia
sudahmenyelesaikan kuliahnya dan sedang mencoba mencari pekerjaan. Papanya
sebenarnya menginginkan ia membantu usaha keluarga mereka namun ia
bersikeras ingin mencari pengalaman dulu di sana. Sementara ia menunggu
lamarannya diterima, ia pulang kembali ke tanah air.
Dimulai dengan telpon-telponan tiap malam dan sesekali pergi bersama
keluarganya, kami mulai jadi dekat. Sekali waktu, Ia bahkan nekat
menjemputku di kampus. Sesuatu yang membuat geger anak-anak di kampusku.
Kejadian itu masih segar dalam ingatanku, karena pada hari yang sama
itulah, sesuatu merubah hidupku. Ia bersandar ke mobil mewahnya dengan gayanya
yang angkuh. Tangannya dimasukkan ke saku celananya dan dari balik kacamata
hitamnya, matanya seperti sibuk mencari-cari sesuatu. Aku hampir tidak
percaya ketika melihatnya di lapangan parkir kampus sore itu. Buru-buru
akumenghampirinya.
"Jason? Ngapain di sini?" sapaku sambil tertawa kecil, menyembunyikan
rasa grogiku. "Ca, aku mau ajak kamu jalan." Ucapnya dengan senyum lebar
tersungging di bibir merahnya. Aku terkesiap mendengarnya. Ini pertama
kalinya dia mengajakku pergi berdua saja. Aku melirik ke mobilnya,
mecari-cari supirnya. "Supirnya mana?" tanyaku polos.
"Aku yang nyetir donk!" ucapnya bangga. "Hah? Nggak mau ah.. Kamu kan
nggak bisa nyetir di sini.." sahutku
pura-pura panik. "Jangan takut, aku dah latihan dari kemaren.." ia lalu
berjalan melewatiku dan membukakan pintu mobil untukku. "Silahkan masuk,
tuan putri." Aku bisa merasakan tatapan-tatapan yang tertuju padaku saat
itu.
Bagaimana tidak, sore itu lapangan parkir sedang ramai-ramainya dan
tiba-tiba saja ia datang dengan semua keglamourannya. Ditambah lagi
statuskuyang memang kurang mengenakkan di kampus ini. Merasa tidak enak, aku
memilihuntuk buru-buru masuk ke mobil sebelum mereka menganggap aku sedang
pamer cowok.
PART 4
"Kok diem aja Ca?" tanya Jason sedikit tidak enak. "Lain kali nggak usah
jemput aku.." jawabku pelan. "Kenapa sih memangnya? Nggak enak ama
anak-anakdi kampus? Biarin aja ah.." sahut Jason cuek. Ia sibuk mencari-cari lagu
yang bagus dari CD changernya. "Nanti aku diomongin yang macem-macem.."
"Diomongin apa sih?" tanyanya, kali ini agak lebih serius. "Yah.. apa
kek gitu.. Kamu kan tahu bagaimana sikap mereka sama aku.. Mereka tuh nggak
suka sama aku.." jawabku, agak sedikit sedih mengingat-ingat celaan apa saja
yangpernah ditujukan kepadaku..
"Mereka cuma sirik sama kamu.. Udah pinter, kaya, cakep lagi.. Plus
dijemput ama cowok keren begini.. Kayaknya emang mereka bakalan makin sebel sama kamu sih.." Tanpa kusadari, aku tersenyum sendiri mendengar ucapannya. Entah kenapa, Jason bisa membuatku merasa dihargai dan berarti meskipun ia tidak
pernah mengatakannya secara langsung
PART 5
Jason adalah orang pertama yang bisa membuatku merasa bahagia seperti
ini. Sejak kecil, sikapku yang tertutup dan pemalu membuat orang-orang
berpikir bahwa aku ini sombong. Bahkan sebelum mengenalku pun, mereka sudah
memasang tatapan tidak suka ketika melihatku. Penampilanku juga sebenarnyabiasa
saja tapi selalu ada yang dikritik oleh mereka. Sok pamer lah, sok cakep lah,
atau sok sopan. Seraya bertambah dewasa, orang-orang mulai selalumenguhubungkanku dengan orang tuaku yang terkenal. Nilai-nilaiku yangbagus
karena hasil kepintaranku sendiri juga selalu diragukan. Sikap dosen
yang menghormatiku dikatakan semata-mata hanya karena ingin menjilat.
Aku tidak pernah benar-benar punya teman. Yang selalu menemaiku hanyalah
gunjingan dari mereka yang tidak menyukaiku. Aku tidak pernah mengerti
alasannya..
PART 6
Sore itu Jason mengajakku ke mall. Ia memintaku menemaninya berbelanja.
"Ca, sini sebentar.." Jason masuk ke salah satu butik pakaian perempuan.
"Ngapain sih? Kamu mau beli baju buat mama kamu juga?" aku hanya mengikutinya
dari belakang. Ia lalu mengambil sebuah gaun malam, menyodorkannya kepadaku.
"Cobain yang ini.."Aku menatapnya heran. "Udahh.. ayo cepetan.." ia
mendorongku ke kamar ganti. "Jason, ini nggak cocok buat aku.."aku mengamati
gaun biru muda dengan sulaman bunga bertebaran di bagian bawahnya.
Memangmanis sekali.. Jason hanya memberiku isyarat untuk diam dan segera
mencobagaun itu. Setengah hati, aku menurutinya.
"Pas sekali.." ia berdecak kagum ketika melihatku mengenakan gaun itu.
"Sayaambil yang itu ya.." ia lalu berkata kepada pramuniaga yang berdiri di
sampingnya. Jason memaksa membelikanku gaun itu. Sebagai tanda terima
kasihnya karena aku telah menemainya berbelanja sore itu. Alasan yang
aneh menurutku.. Kami lalu makan malam di salah satu restoran dan
berbincang-bincang sambil menunggu pesanan kami datang. Percapakan yang
tidak pernah aku lupakan..
"Kapan kamu balik ke Sydney?" tanyaku membuka percakapan kami. "Kenapa?
Udah bosen nemenin aku ya?" "Eh.. bukan begitu lah.. Cuma mau tau aja.."
Jason menyenderkan tubuhnya ke kursi dan menghela napasnya. "Sekitar satu atau
dua minggu lagi..".
"Oh.." hanya itu yang keluar dari mulutku.
Ia lalu memajukan tubuhnya, mendekatkan dirinya. "Kalau aku pergi, kamu
kesepian?" ia tersenyum nakal. Aku sungguh tidak bisa menjawab apa-apa. Bibirku seperti terkunci dan aku hanya bisa menunduk. Aku juga tidak mengerti mengapa aku jadi seperti itu.Sungguh memalukan.. "Ca, kamu suka cowok kayak apa sih?" tanyanya
mengalihkan topik, namun pertanyaannya masih membuat jantungku berdetak
kencang.
"Aku? Uhmm.. Aku suka.." aku berpikir sebentar. "Aku suka cowok yang mau
menantiku selama seribu tahun lamanya.." jawabku akhirnya dengan mantap.
Ia menatapku heran. "Aku tidak pernah dengar jawaban seperti itu sebelumnya.."
"Memangnya sudah berapa orang yang kamu tanya seperti itu?" tanyaku
memberanikan diri. Ia tertawa ringan. Ia tidak menjawab apa-apa.
"Kalau kamu? Kamu suka yang seperti apa?" tanyaku balik.
"Aku?" ia diam sebentar. "Aku suka cewek yang bisa membuatku jatuh cinta
padanya.." sambungnya.
"Jawabanmu lebih aneh lagi.." aku tertawa kecil, merasa agak sedikit
lepas dari kegugupanku.
Jason mengangkat bahunya cuek. "Ca, kamu lebih cantik kalau kamu
panjanginrambutmu.." ucapnya tiba-tiba.
Kini aku yang terdiam. "Kenapa kamu belum punya pacar?" tanyanya kemudian. "Aku yakin banyakcowokngantri untuk jadi pacarmu.."
"Aku belum menemukan yang pas.." jawabku diplomatis. "Pernah jatuh
cinta?"tanyanya lagi, menyudutkanku. "Rahasia.." jawabku malu-malu,
mengaduk-aduk minuman yang baru diantar. Walaupun kepalaku tertunduk, aku tahu iasedangmenatapku. Sejujurnya, saat itu aku sadar bahwa aku sudah mulai jatuh
cinta kepadanya.. Jatuh cinta untuk pertama kalinya..
Sesampainya di depan rumahku, aku sudah hendak membuka pintu mobil
sewaktu ia menarik tanganku, mencegahku untuk keluar."Ada apa?" tanyaku
antara bingung dan juga malu karena aku juga menikmati sentuhan
tangannya. Ia menatapku sesaat.. beberapa detik yang terasa begitu lama untukku.
"Nggak pa-pa.. Maaf.." ia melepaskan tanganku pelan. "Good night, sweet
dream.." senyumnya.
Aneh.. aku agak sedikit kecewa saat itu. Aku hanya bisa membalas
senyumannya dan beranjak keluar. Lalu aku melihat mobil ayah Jason
diparkir di dalam garasi rumahku.
"Jas, itu bukannya mobil papamu?" tanyaku agak sedikit terkejut. Jason
menatap ke arah yang kutunjuk dan ternyata ia juga sama herannya dengan
aku. 'Kamu turun aja dulu.."akhirnya kuberanikan diriku.
Jason hanya mengangguk-angguk dan mematikan mesin mobilnya.
PART 8
Waktu kami masuk, ternyata orang tua Jason memang sedang bertamu ke
rumahku.Aku langsung duduk di sebelah papa sementara Jason duduk sendiri
terpisah. "Abis ke mana aja kalian?" tanya mama lembut. "Tadi Bianca nemenin Jason
belanja doank kok ma.." jawabku sambil mencuri pandang ke arah Jason.
Ternyata ia sedang menatapku juga.
Buru-buru aku mengalihkan pandanganku.
"Papa mama kok bisa kebetulan di sini juga?" kudengar Jason angkat
bicara."Kami memang mau ngomong sama kalian berdua.." jawab ayahnya dengan
suara agak berat. Jarang sekali aku mendengarnya berbicara. Kulihat ia melirik
ke arah istrinya, seolah meminta istri melanjutkan kata-katanya.
"Begini Jason.. kami lihat kalian berdua sangat cocok sekali.."
Jantungkuberdegup menunggu kata-katanya selanjutnya. Lagi-lagi aku tundukkan
wajahku. "Jadi kami berpikir mungkin akan sangat baik kalau kalian dijodohkan..
Setidaknya bertunangan dulu sebelum kamu kembali ke Sydney.. Mama dan
papa sudah kenal dekat dengan orang tua Bianca. Kamu juga sudah cukup umur
untukmemulai hubungan yang serius.."
Aku merasa ini seperti mimpi, atau seperti kisah dalam novel.. Aku baru
saja jatuh cinta, untuk yang pertama kalinya.. dan langsung dijodohkan..
Segalanya yang kudengar seperti tidak nyata. Sekuat tenaga kutahan
dirikuuntuk tidak bersorak kegirangan. Lalu aku memberanikan diri menatap ke
arahJason.
Tidak seperti yang kuduga, kulihat raut wajahnya berubah. Tidak ada
tanda-tanda kebahagiaan di sana.. Wajah itu menjadi keras dan angkuh,
tepatseperti waktu aku pertama kali melihatnya. Hatiku seperti ditusuk
melihatreaksinya..
Jason lalu berdiri dari duduknya. "Aku minta waktu untuk berpikir.." ia
pun
beranjak pergi begitu saja. Menoleh ke arahku pun tidak. Duniaku serasa
gelap saat itu. Aku tidak mau tahu apa yang terjadi. Yang kuingat, aku
berlari ke kemarku dan mengunci diriku di sana. Semalaman itu aku
menangis
sendiri.. Ternyata Jason sama dengan yang lainnya..
PART 9
Sudah tiga hari Jason tidak menghubungiku semenjak kejadian itu. Aku
juga tidak pernah mencoba menghubunginya ataupun menanyakan tentangnya
kepada orang tuaku. Mereka sendiri tampaknya juga kecewa dengan sikap
Jason
malam itu. Sejujurnya, aku sudah merasa malu dan putus asa.. Aku
berpikir ia
mempunyai perasaan yang sama.. Kalau tidak, mengapa ia begitu baik
padaku?
Mengapa ia selalu memberi perhatian lebih padaku? Ah.. pertanyaan yang
tidak
ada ujungnya.. Lebih baik kupendam semuanya sendiri, bersama dengan air
mata
yang hampir kering ini..
Part 10
Aku hampir tidak percaya ketika melihat nama Jason tertera di layar
handphone-ku sore itu.. Aku ingin sekali menjawab telpon itu tapi ada
sesuatu dalam diriku yang mencegahnya. Kebimbangan terus berkecamuk
dalam hatiku sampai akhirnya telpon itu terputus. Kumaki diriku sendiri dan
kusesali diriku karena tidak mengangkat telpon darinya.
Kupandangi layar handphoneku terus menerus, berharap ia akan menelponku
lagi. Ternyata harapanku membuahkan hasil. Tidak lama ia menelponku
lagi.Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengangkatnya.
"Hallo.." ucapku pelan dan agak berhati-hati.
"Ca, pakai gaun biru yang kita beli sama-sama untuk Sabtu depan.."
"Apa??" tanyaku kebingungan, kaget dengan ucapan Jason yang tanpa
basa-basi itu. Kupikir ia akan meminta maaf tentang kejadian waktu itu.
"Sabtu depan kita tunangan.." kebingunganku sirna, diganti oleh rasa
terkejut dan sedikit khawatir.
"Jas.. kayaknya kita perlu bicara lagi.. Kamu harus jelasin kenapa.."
"Aku mencintaimu." potongnya cepat sebelum aku menyelesaikan kalimatku.
Aku terdiam sesaat. Setelah itu, hanya isakan tangisku yang terdengar.
Ia juga diam seribu bahasa. Bibir kami sama-sama terkunci saat itu.. Tidak
lama ia datang ke rumahku.
Sewaktu aku turun dari kamar, kulihat ia sedang duduk di ruang tamu
menantiku. Aku menatapnya dari belakang. Rasanya aku bisa mendengar
detak jantungku sendiri saat itu. Pelan-pelan kuhampiri dia dan duduk di
hadapannya dengan tatapan yang menghindar darinya.
Di luar dugaanku, ia menghampiriku, bersujud di dekat kakiku dan meraih
tanganku.
"Sudikah kau bertunangan denganku, Bianca Fransesca Prananto?" ia
mengecup tanganku lembut lalu menyelipkan sebuah cincin ke dalam genggaman
tanganku.
Aku bisa merasakan air mataku kembali menetes dari mataku yang sembab.
Tapi kini seuntai senyuman menghiasi wajahku. Ia lalu bangkit dan memelukku.
"Maaf.." kudengar ia berbisik pelan
Suasana sore itu begitu tenang dan damai. Aku dan Jason baru saja pulang
dari mengurus beberapa keperluan untuk pesta pertunangan kami.
Sebenarnya mama Jason sudah mengurus semuanya, lagipula tidak terlalu banyak yang
diurus mengingat pesta ini hanya dihadiri oleh keluarga dan teman dekat saja. Namun Jason bersikeras ingin ikut campur dalam segala persiapannya.
Hari ini sudah hari Senin. Lima hari lagi adalah hari pertunangan kami.
Terus terang, aku merasa ini semua berlangsung terlalu cepat.
"Kok ngelamun, Ca?" Jason menyentuh tanganku lembut sambil masih
berkonsentrasi menyetir.
Aku mengalihkan pandanganku yang sedari tadi memandang ke luar jendela.
"Aku cuma merasa ini tidak nyata.. Semuanya terlalu cepat.. Maksudku,
kita baru berkenalan belum sampai dua bulan tapi kita sudah akan bertunangan
lima hari lagi.."
"Kita kan hanya bertunangan, belum menikah.. Pertunangan ini kan hanya
sebagai tanda ikatan antara kita berdua mengingat aku harus kembali ke
Sydney minggu depan.. Kita masih punya banyak waktu untuk saling
mengenal..
Kita tokh tidak perlu buru-buru menikah kan? Atau jangan-jangan kamu dah
nggak sabar ya?" pertanyaannya membuat pipiku bersemu merah. Aku kembali
mengalihkan pandanganku ke luar jendela.
"Jas, kamu belum menjawab pertanyaanku dulu.." ucapku memberanikan diri.
"Pertanyaan yang mana, Ca?"
"Kenapa malam itu reaksimu seperti itu?" aku kembali mengungkit
persoalan malam ketika ia secara tidak langsung menolak perjodohan kami. Ia selalu
menghindar setiap kali aku mencoba menanyakannya. Jason menghela napasnya,
seolah merasa bosan dengan pertanyaanku. "Apa itu masih penting sekarang?"
"Masih.. Karena aku ingin tahu apa yang membuatmu ragu?" paksaku.
"Hmm.. entah lah.. Life is complicated.." jawabannya masih penuh
teka-teki. "Sudah lah.. Aku mohon, jangan bahas ini lagi.."
Aku tidak mengucapkan apa-apa lagi. Tampaknya percuma saja..Lagipula
memang tidak ada gunanya aku tahu, hal itu tidak akan mengubah apapun. Jadi,
kukesampingkan egoku dan membuang keingintahuan itu..
"Besok kita jemput Rosa, kamu nggak lupa kan?" Aku hanya mengangguk.
PART 12
Rosa adalah adik Jason yang juga tinggal di Sydney. Aku hanya pernah
melihat fotonya di foto keluarga yang dipajang di rumah mereka. Rosa adalah
satu-satunya saudara yang dimiliki Jason. Setidaknya itu masih lebih
baik dariku yang hanya sendirian. Sejujurnya, aku sangat mengharapkan memliki
seorang saudara perempuan dan aku berharap Rosa bisa menerimaku.
Ketika bertemu dengan Rosa di airport, ia ternyata jauh lebih cantik
dari yang di foto. Tepat seperti yang kubayangkan, anaknya lincah dan
enerjik,membuat suasana di sekitarnya selalu meriah. Sebentar saja aku sudah
akrab dengan Rosa. Banyak kecocokan di antara kami walaupun dia lebih kecil
sekitar empat tahun dariku.
"Wahhh. kalian deg-degan nggak nih besok sudah mau tunangan?" goda Rosa
saat kami makan malam bertiga. Sebenarnya Rosa ingin aku melewatkan malam
tersebut hanya berduaan dengan kakaknya namun aku yang memaksanya untuk
ikut.
"Bukan deg-degan tapi sedih, Sa.." jawabku."Sedih?" tanya Jason kaget,
membuatku dan Rosa tersenyum geli.
"Gimana nggak sedih? Mana ada orang yang baru tunangan dua hari langsung
ditinggal?" sahut Rosa seperti bisa membaca pikiranku.
"Ohh.. aku ke Sydney kan bukan buat selamanya.."
"Kenapa sih kamu nggak batalin tawaran kerja di Sydney dan kerja sama
papa aja?" aku agak sedikit terkejut dengan pertanyaan Rosa yang agak
blak-blakan walaupun pertanyaan itu pernah juga terlintas dalam pikiranku.
Jason terdiam sebentar. "Aku kan sudah pernah bilang alasannya.."
"Tapi itu sebelum kamu bertemu dengan Bianca kan?"
"Prinsipku tidak bisa diubah.." dari nada bicaranya tersirat Jason tidak
ingin melanjutkan percakapan itu.
Rosa menghela napasnya dan menatapku. "Ca, kamu harus awasin bener-bener
kakakku ini.. Hati-hati, cewek yang ngejar dia ada segudang.." candanya.
"Harusnya aku yang minta tolong kamu, Sa.. Kan kamu yang bisa ngawasin
dia nanti.." balasku sambil tertawa kecil.
Rosa lalu melirik ke arah Jason. "I'll try my best.. We'll see.."
Entah mengapa aku merasa ada yang ganjil dengan ucapan Rosa tapi aku
tidak terlalu memperhatikannya. Pikiranku sendiri berkecamuk dengan
pertunanganku besok.
"Ca.." Jason membuyarkan lamunanku. "Mikirin besok yah?" sambungnya
lembut. Aku mengangguk. Rosa memegang tanganku dan menggenggamnya erat.
"Everything will be fine.. Relax.."
Jason mengangguk setuju dengan perkataan adiknya.
Lalu tiba-tiba kulihat Jason memberikan isyarat kepada seseorang,
menyuruhnya untuk datang ke meja kami. Aku berpaling melihat siapa orang
tersebut.
Ternyata seorang pemain biola. Ia menghampiri kami dan mulai memainkan
sebuah lagu. Lagu yang sangat indah, sebuah lagu klasik yang begitu
akrab di telingaku, Moonlight Sonata.. Jason tahu aku suka memainkan lagu itu
dengan piano kesayanganku..Wajahku langsung bersemu merah, benar-benar kikuk
rasanya berada dalam keadaan seperti itu. Aku mencari-cari Rosa, berupaya
untuk tidak menatap Jason.. Namun tampaknya Rosa sengaja menghilang saat
itu, membiarkan diriku hanya berduaan dengan Jason.
Aku melihat orang-orang di sekeliling restoran itu menatap ke arahku
sambil tersenyum. Aku menunduk lagi sebelum akhirnya memutuskan untuk menoleh
ke arah Jason.
Ia memang sedang menungguku menatapnya. Ia tersenyum simpul, sedikit
terlihat menahan tawa melihat sikapku yang malu-malu itu.. Ia lalu
mengulurkan tangannya, mengajakku berdansa. Aku menatapnya terkejut. Aku
ingin menolak namun aku tahu berpasang-pasang mata sedang memperhatikan
kami saat itu. Akhirnya aku sambut uluran tangannya dan kami beranjak ke
lantai dansa.
Musik masih terus mengalun, samar-samar menutupi bunyi detak jantungku.
Ia mendekap tubuhku erat, tubuh kamipun bersatu, bergerak perlahan..
terbawa suasana.. Beberapa pasangan juga mulai turun dan mulai berdansa. Aku
tersenyum, merasa agak sedikit rileks. Aku menopangkan daguku di
bahunya. Kudengar ia berbisik pelan, "Terima kasih.." lalu ia mencium telingaku
lembut. Hanya dua kata yang singkat namun membuatku merasa begitu
dihargai, begitu dipuja.. dan di atas segalanya, begitu dicintai..
Aku merenggangkan pelukanku. Kuberanikan diriku untuk menatapnya. Lalu
kaki kami sama-sama terhenti. Kami berdua berdiri mematung di tengah-tengah
pasangan-pasangan lain yang sedang berdansa. Kami berdua bertatapan
cukup lama saat itu. Melihat tatapan matanya yang begitu dalam dan hangat, aku
yakin aku adalah gadis yang paling beruntung di dunia ini. Aku percaya, keputusanku untuk menerima pertunangan ini tak akan pernah kusesali.
PART 13
Pesta pertunangan kami berjalan dengan lancar. Sejujurnya, tidak ada
yang
terlalu istimewa di hari itu kecuali perasaanku. Bahagia dan terharu
mungkin
tidak cukup untuk mendeskripsikannya.
Jason selalu berada di sampingku sepanjang acara itu. Ia senantiasa
menggenggam erat tanganku atau sesekali merangkul pinggangku. Kudengar
tamu-tamu memuji kami sebagai pasangan yang sempurna. Jason juga terus
menerus memujiku yang terlihat agak berbeda malam itu. Sedih rasanya
waktu
pesta itu berakhir dan membayangkan Jason akan segera meninggalkanku.
Namun
cincin yang kini terselip di jari manisku mampu membuat hatiku agak
lebih
cerah.
Malam itu, Jason mencium bibirkuku untuk yang pertama kalinya.. Ciuman
yanglembut.. Tepat seperti yang aku impikan, ciuman pertama yang membuatku
menangis sebaliknya dari tersenyum.. Jason memang memenuhi semua
anganku..Ia terlalu sempurna sehingga aku merasa semua ini hanya mimpi. Ketika
Jasonharus pergi dari sisiku, aku melepas kepergiannya dengan tabah. Aku tahu
tangisanku tidak akan merubah keputusannya. Sebaliknya, aku tersenyum
karenaaku tahu ia akan kembali ke sisiku.
Mungkin perpisahan sementara ini adalah yang terbaik bagi kami berdua.
Mungkin dengan begitu, cinta yang murni bisa berkembang di antara kami.
Apabila kami bisa melewati semua ini, maka tidak ada lagi yang bisa
memisahkan kami nantinya.
"Aku nggak nyangka kamu tidak nangis.." Jason tersenyum meledekku. Ia
sudah
hendak check in namun ia minta waktu untuk bicara berdua saja denganku.
"Aku menangis di sini.." aku menunjuk hatiku. Kurasakan suaraku bergetar
saat mengucapkannya.
Jason menarik tubuhku mendekat kepadanya. Ia lalu sedikit membungkuk dan
menempelkan keningnya di keningku. Matanya menatapku begitu dalam seolah
ingin melihat apa yang ada di balik bola mataku.
"Terima kasih.. Seandainya kamu menangis, hatiku juga jadi susah.." Ia
lalumengecup keningku. "Aku pasti kembali lagi.. Jaga cinta kita.." Dan ia
memelukku begitu erat.
Kugigit bibirku kuat-kuat untuk menahan air mata yang sudah di pelupuk
mataku. "Sudah.. ayo check in sana.. Rosa udah nungguin.. Nanti langsung telpon
akuyah.." kulepas pelukannya dan kucoba mengucapkan kata perpisahan dengan
nada ceria..
Ia tersenyum dan mengangguk pasti. Ia lalu berjalan ke arah Rosa dan
merekaberdua melambaikan tangan padaku.
Ketika mereka berdua berlalu dari pandanganku, air mataku tumpah..
PART 14
Aku dan Rosa juga masih terus berhubungan. Sadar atau tidak, kami sudah
jadisahabat baik. Anehnya, kami tidak terlalu banyak membicarakan Jason.
Baik aku maupun dia sama-sama tidak pernah menyinggungnya. Aku merasa agak
sungkan, lagipula aku tidak mau Jason berpikir bahwa aku kurang
mempercayainya. Kuliahku berjalan dengan lancar. Aku tidak terlalu
merasatertekan. Entah mengapa, keberadaan Jason menambah kepercayaan diriku.
Aku jadi tidak terlalu minder dan berprasangka buruk terhadap orang-orang di
sekitarku. Sungguh, aku banyak berubah. Aku lebih berani mencekati orang
dan ternyata, tidak semuanya berpandangan negatif tentangku.. Kupikir, dulu
aku hidup dalam ketakutanku sendiri.. Aku yang tidak bisa menerima diriku,
bukanmereka.. Kini di kampus aku punya cukup banyak teman. Aku sangat
menyayangkan karena diriku berubah di saat-saat terakhir kuliahku. Aku
jaditidak pernah benar-benar menikmati masa kuliah. Kadang-kadang Jason
kesalkarena semenjak diriku mulai lebih terbuka, sudah ada beberapa teman
laki-lakiku yang mencoba mendekatiku. Kalau sudah begitu, katanya aku
lebihbaik jadi pendiam dan tertutup seperti dulu. Namun aku tahu ia tidak
pernahserius dengan ucapannya..
Jason juga cukup puas dengan pekerjaanya. Ia sudah beberapa kali dapat
pujian dari atasannya dan menurutnya, sebentar lagi ia bisa naik
jabatan.Kalau sudah mendengarnya bercerita begitu seru, aku jadi takut sendiri
kalau-kalau ia tidak akan kembali. Di sisi lain, aku bangga karena
tunanganku bukan laki-laki yang hanya bisa mengandalkan orang tua.
Seperti yang sudah dibilang Rosa dulu, banyak sekali gadis yang ngantri
untuk mendapatkan Jason. Bukannya cemburu, aku malah jadi geli sendiri
mendengar cerita-cerita lucu tentang gadis-gadis itu. Mulai dari yang
mengiriminya foto sampai yang mengirimkannya lagu lewat radio tiap
weekend.
Hubungan kami berjalan begitu lancar.. begitu sempurna.. Hingga tidak
terasa aku sudah menyelesaikan kuliahku.
PART 15
Semenjak kuliahku selesai, aku tidak melakukan banyak hal selain
membantupapa sedikit-sedikit di perusahaannya.
Sebenarnya Jason akan pulang saat wisudaku nanti, ia sudah berjanji..
namun aku sudah tidak sabar ingin bertemu dengannya karena wisudaku masih dua
bulan lagi. Saat kau merindukan seseorang, dua bulan bisa jadi seperti
penantian tanpa batas. Maka kuberanikan diriku untuk meminta ijin keSydney.
"Sudah tidak sabar mau ketemu calon suami yah?" ledek papa waktu aku
mengutarakan niatku.
"Ah papa.. kayak nggak pernah pacaran aja.." ucapku manja.
"Papa nggak ada alasan melarangmu. Kamu pesan saja tiketnya.."
"Beneran pa?" ucapku girang.
"Kalau perlu pesan saja untuk dua bulan jadi kamu balik ke Jakarta-nya
sama-sama dia." tambah mama lagi.
"Aduh, mama memang mama paling baik sedunia.." aku memeluk mama
erat-erat. "Oh ya, aku mau bkin surprise loh buat Jason dan Rosa jadi mama papa
jangan sampe keceplosan yah.." tambahku lagi.
Papa dan mama hanya tertawa melihat sikapku yang kekanak-kanakan itu..
Kupandangi refleksi wajahku di cermin. Aku tersenyum puas melihat
penampilanku. Kusisir rambutku yang sudah tumbuh panjang sekarang. Aku
teringat Jason pernah bilang bahwa aku lebih cantik bila rambutku
panjang.
Mungkin itulah alasannya mengapa aku tidak pernah memotong rambutku
semenjak aku mendengar kata-katanya itu. Aku tersenyum membayangkan dirinya
melihatkusekarang. Aku tersenyum membayangkan perjumpaan kami sebentar lagi,
melihatekspresi terkejut di wajah tampannya.. Kubayangkan juga hari-hari yang
akan aku lewati dengannya, menyusuri tempat-tempat indah yang selama ini
selalu ia ceritakan padaku.. Kurapihkan diriku lagi sebelum keluar dari kamar
kecil itu. Kulangkahkan kakiku dengan mantap.
"Sydney, say hi to me.." pekikku girang dalam hati. Aku memandang
bangunan tinggi yang menjulang dihadapanku. Taksi yang mengantarku sudah berlalu
daritadi. Kulihat lagi kertas bertuliskan alamat apartment Jason dan Rosa.
Memang benar ini yang aku cari. Ketika aku sudah hendak menekan interkom
apartment mereka, kulihat sepasang suami istri berjalan keluar dari
pintu utama. Lalu ide iseng muncul di benakku. Sebelum pintu itu tertutup, aku
buru-buru menyelinap masuk..
"Kalau aku langsung muncul di depan pintunya tentu lebih mengejutkan
lagi.."pikirku nakal. Kutekan tombol lift yang sesaat kemudian mengantarku ke
lantai teratas dari bangunan tersebut.
Sewaktu aku mengetuk pintu itu, aku merasa jantungku yang justru
terketuk. Lama tak terdengar jawaban. "Mungkin mereka masih tidur.." aku melirik
jam tanganku yang menunjukkan jam sembilan pagi lewat sedikit.
Hari ini hari minggu jadi wajar saja kalau mereka bangun agak siang.
Kucobalagi mengetuk pintu itu, agak lebih keras kali ini.. Tak lama, Rosa
membukapintu itu, masih dengan pakaian tidur dan rambut yang agak berantakan.
Matanya terbelalak ketika melihatku
PART 17
"Bianca!!" teriaknya tertahan. Aku tersenyum dan langsung memeluknya.
Lalu kulihat Jason muncul, hanya mengenakan celana boxer pendek. Aku
tersenyum dan hampir memanggilnya ketika aku sadar ia sedang merangkul
seorang perempuan yang tidak pernah aku kenal. Perempuan itu juga hanya
mengenakan pakaian tidur seadanya. Jason masih mengucek-ucek matanya.
"Siapa Sa? Kok bisa masuk sini?" tanyanya pada Rosa. Sementara yang ditanya tidak berani menoleh ke belakang. Tersentak, kulepaskan pelukanku. Jason juga rupanya segera menyadari
kehadiranku di situ dan buru-buru melepaskan rangkulannya. Terlambat..
aku sudah melihatnya.. Belum sempat seseorang mengucapkan sepatah katapun,
aku langsungberbalik dan berlari pergi, menekan-nekan tombol lift dengan tidak
sabar."Bianca! Tunggu!" kudengar Jason berlari dan mengejarku. Ia lalu
mencengkeram lenganku keras, membuatku tak mampu berontak. Aku berbalik
menatapnya namun pandanganku kabur, tertutup oleh air mata yang sudah
siap mengalir. Ia tidak mengucapkan apa-apa. Ia menarikku ke pelukannya
denganpaksa.
Aku hanya bisa menangis seraya sesekali memukul bahunya yang bidang itu.
Perempuan itu beranjak mendekati kami. Ia berdiri di belakangku, tepat
berhadapan dengan Jason.
"Ini pacarmu?" tanyanya sinis.
"Bukan." Jason menjawab mantap.
"Ia tunanganku.." Sambungnya seraya mempererat pelukannya seolah ingin
melindungiku. Tangisku makin menjadi mendengar jawaban Jason itu.
Perempuan itu mendegus marah. "Kalau begitu, kau dalam masalah besar
sekarang.. Bagus, kau rasakanlah akibat dari perbuatanmu sendiri!"
bentaknya setengah berteriak.
Lalu aku mendengar suara tamparan. Aku menolehkan wajahku dan melihat
Jasonsedang memegang sebelah pipinya. "Tamparan itu untukku. Dan ini untuk
tunanganmu." Ia lalu menampar Jason lagi.
Kulihat mata perempuan itu menyala oleh api amarah namun aku tahu ia
jugatengah menahan air mata yang sudah mulai membahasi matanya. Aku tahu, ia
sama sedihnya denganku. Hanya saja, ia sedikit lebih kuat dariku..
Perempuan itu lalu mengalihkan pandangannya kepadaku. "Kurasa kau pun
tahu,jahanam ini tidak pantas untukmu.." ucapnya sebelum berlalu.
Kulihat ia masuk ke dalam lift yang sudah terbuka sambil menenteng
pakaiandan tasnya. Ia sama sekali tidak menoleh lagi ke arah kami..
PART 18
Mataku menerawang kosong. Aku sudah lelah menangis. Rosa sedari tadi
merangkulku. Jason juga hanya duduk memandangku. Belum ada di antara
kamiyang bicara semenjak Rosa mengajakku masuk ke apartment mereka untuk
menenangkan diriku. Mereka berdua seolah menungguku untuk bicara
terlebihdahulu.
Aku bangkit dari dudukku. "Aku mau pulang." Ucapku mantap. Sebelum ada
di antara mereka yang mencegahku, aku menoleh ke arah Rosa, "Kamu mau antar
aku ke airport kan?"
Rosa menoleh ke arahku dan kakaknya bergantian. "Kalau kamu tidak mau,
akubisa pergi sendiri." Ucapku akhirnya sambil mengangkat barang-barangku.
"Tunggu." Kudengar akhirnya Jason bersuara. Entah mengapa, air mata ini
ingin mengalir lagi ketika mendengar suaranya. Aku tidak menoleh. Ia
berjalan menghampiriku dan menyentuh tanganku lembut. "Jangan pergi
dulu.Kita harus bicara."
Aku menoleh, menatapnya tajam dan kusentakkan lenganku. "Tidak ada yang
perlu dibicarakan lagi, Jason."
Akupun membuka pintu apartment itu dan melangkah pergi.
Rosa buru-buru mengambil kunci mobilnya. "Ca, aku antar kamu.." ia
membantuku membawa tasku dan berjalan bersamaku, meninggalkan Jason
sendirian.
Ketika pintu lift itu terbuka, kudengar Jason memanggilku sekali lagi.
Aku masih tetap tidak menoleh. Aku tetap melangkah masuk ke dalam lift itu.
"Bianca, aku akan menunggumu.. walaupun harus seribu tahun.." kudengar
suaranya bergetar saat mengucapkannya.
Aku tak menjawab. Pintu lift itu tertutup dan barulah aku mulai menangis
lagi.. Rosa terus memelukku..
Hening.. itulah yang aku butuhkan..
To be continue
No comments:
Post a Comment